Meteor yang Jatuh di Akhir Cerita adalah Omong Kosong, Begitu Juga yang Lainnya
“Apakah kau menulis semua
dari pengalaman hidupmu, atau hanya dari imajinasimu?” tanya Angel.
“Tentu saja imajinasi,”
kataku, tidak ada yang benar-benar nyata, semua cerita adalah fiksi, seperti
gosip yang terus berubah-ubah sesuai sudut pandang sang pencerita.
Kurang lebih seperti
itulah maksudku, tetapi aku tidak bisa menjelaskannya ketika aku mengatakan
kepada empat temanku yang tengah berada di sebuah bilik kecil dari bagian
ruangan sebuah rumah sakit yang berbau khas—kau tahu bau apa yang aku maksud.
Ya, aku agak tidak suka aroma rumah sakit.
Mereka tetap tidak paham
dengan apa yang aku katakan, dan aku mencoba menjelaskannya lagi, memang aku
agak tidak terlalu pandai dalam menjelaskan sesuatu. Yang kutulis tidak
benar-benar nyata, hanya saja terinspirasi dari hal yang benar-benar nyata.
Tentu saja seperti yang aku tuliskan ini, kurasa tidak sepenuhnya keadaan
seperti ini.
Aku tidak bisa kembali
menuliskan segala detail: di mana semua bilik di tempat itu hanya dipisah
dengan kain gorden berwarna hijau, dan setiap orang yang tengah sakit di
ranjangnya ditunggui beberapa kerabatnya dan beberapa orang yang menjenguk; aku
tidak tahu berapa jumlah sendal yang berantakan bersama beberapa sepatu di
depan pintu masuk yang baru saja kami lewati; dan bagaimana menjelaskan bau
kaus kaki Bungkik yang teredam bau menusuk rumah sakit—anggap saja bau itu
berkolaborasi mendobrak hidungmu. Berapa kali perawat keluar masuk mengecek
kondisi setiap pasien, menyuntik, dan mengganti infus. Aku benar-benar tidak
bisa menggambarkannya secara nyata, dan karena itu aku perlu menambah
kebohongan.
Kami berempat menjenguk
Baby, dan omong-omong itu nama yang sesungguhnya, sama seperti nama lain yang
akan aku tuliskan kali ini.
Sebenarnya aku tidak ingin
ikut, tetapi Angel memaksaku, dan tiada seorangpun yang bisa menolak jika Angel
memaksa. Lagipula jika aku berdua saja dengannya, sepertinya itu akan menjadi
sebuah kencan... Atau tidak, karena dia punya pacar dan tidak pantaslah pergi
ke rumah sakit menjadi sebuah kencan.
Tetapi aku bersemangat,
karena aku bisa jalan berdua bersama Angel.
Sayangnya Angel membohongi
aku. Ternyata dia sudah menungguku di rumah Oki. Di depan rumah Oki ada dua
gadis berseragam SMA, adik Oki dan temannya. Mereka sedang bermain dengan
seekor kucing anggora berwarna abu-abu. Wajah kucing itu terlihat sangat malas,
lebih malas daripada kucing lain yang pernah kutemui.
Aku bertanya-tanya jika
melihat tikus apakah kucing itu tetap akan memasang wajah seperti itu? Aku
menjawabnya sendiri dalam hati, karena kupikir kucing itu tidak akan
menjawabnya, “tentu saja, para tikus itu akan mengira aku mengantuk, jadi
ketika mereka keluar, aku tinggal menyergapnya. Lagipula, sebenarnya aku tidak perlu
berurusan dengan tikus, daging mereka baunya tidak sedap dan rasanya tidak
seenak makanan yang diberikan majikanku. Selain itu, sepertinya majikanku juga
melarangnya. Maksudku, lihatlah, aku ini kucing anggora.” Aku tidak tahu apakah
kucing itu akan marah jika aku narasikan seperti ini.
Oki sedang mandi. Angel
sendirian di ruang tamu. Aku senang melihat senyum Angel langsung di depan
mataku. Badannya yang mungil dan wajah cuek tomboy itu membuatku betah untuk
terus memandanginya. Setidaknya ini menjadi obat kekecewaanku karena dia
membohongiku.
Adik Oki memanggil
kucingnya “Mon.”
Aku bertanya, “Namanya
Temon, ya?” Angel tertawa—aku suka melihat dia tertawa.
“Temon?” Adik Oki tidak
terima, “namanya Mona.”
Ya, tentu saja. Temon
bukan nama yang bagus untuk seekor kucing.
Melihat Angel dan kucing
itu, aku jadi terpikir Angelo, kucing Oki yang sebelumnya. Kucing kampung putih
yang lebih kurus. Aku bertanya-tanya ke mana perginya. Dulu aku memanggil
Angelo dengan “Njel,” sampai Angel menengok, aku memang sengaja mengejeknya
untuk bercanda.
Angel bertanya tentang
adik sepupuku, Dona, yang ketika itu sedang di rumah. Waktu itu saat Dilan
masih tayang di bioskop. Aku mengajak Dona nonton, tetapi aku hanya memberinya
harapan palsu sampai dia kembali ke pesantren, dan aku rasa aku telah
mengecewakannya. Aku merasa kesal kepada diriku sendiri.
Meski aku sudah
menganggapnya sebagai adik kecilku, aku tidak tahu banyak tentang Dona. Suatu
hari aku ke kamarnya, memanggilnya untuk sarapan, tetapi dia tidak ada. Aku
melihat buku catatan, semacam diary, tergeletak di tempat tidurnya, aku membaca
salah satu catatannya. Dia menulis tentang seorang kakak kelas perempuannya,
atau apalah. Dia menulis kalau dia jatuh cinta kepada kakak kelas itu, atau semacam
itulah, aku lupa kalimat tepatnya. Aku jadi berpikir apakah Dona seorang
lesbian. Mengingat kami juga pernah mengobrol kalau dia juga pernah pacaran
sama cewek. “…tetapi cuma buat bercanda saja…” katanya waktu itu sembari
menambahkan tawa. Aku jadi teringat akan orang-orang yang sering menambahkan “hahaha”
di akhir kalimat ketika ber-teks ria.
Sampai sekarang pun aku
masih mempelajari cara ber-teks dengan menambahkan “hahaha”,“wkwkwk” atau
“hehehe”, aku sama sekali tidak bisa membedakan kapan aku harus menggunakan
yang mana.
Kembali ke Angel, kami
membahas betapa kami kesulitan mencari kerja. Dia wisuda beberapa bulan lalu
dan berusaha mencari kerja. Angel baru saja pulang dari Semarang untuk
wawancara menjadi seorang pramugari di kereta api, sayangnya Angel kurang
tinggi.
“Apa kau tidak melamar di
tempat lain?” tanyaku. Sudah, katanya, dan dia mengeluh betapa sulitnya mencari
kerja kalau tidak ada orang dalam. Tentu saja, akhir-akhir ini aku juga
berusaha mencari kerja, sama sepertinya. Tetapi apakah di zaman seperti ini
kita memang bena-benar membutuhkan hal semacam itu—orang dalam maksudku. Aku
jadi teringat kata-kata Squidward, tentang bagaimana nepotisme masih terjadi di
mana-mana.
Ayahku sendiri, ketika aku
baru lulus SMA dulu, menawariku menjadi seorang tentara. Aku tahu itu adalah mimpinya,
dan sekarang dia menimpakan mimpi itu padaku, dia ingin melihat anaknya terlihat
gagah memakai baju bermotif kamuflase. Tetapi apa boleh buat, aku punya impian
lain. “Kalau kau mau,” lanjutnya, “Bapak bisa mengurusnya. Ada saudara yang
bisa mengaturnya, dan kalau kau mau kau pasti bisa lulus menjadi tentara...”
Aku menggeleng dengan yakin waktu itu.
Lagipula apa hebatnya aku
bisa masuk menjadi seorang tentara jika itu hanya karena ada orang yang
memasukkan aku—dan membayarnya mahal pula.
Tidak ada yang bisa aku
banggakan. Pada akhirnya aku memang akan berjuang untuk negara, tetapi aku
bohong dalam kenyataanku menjadi itu, aku sama sekali tidak memperjuangkannya,
hanya backing dan sokongan. Benar-benar
tidak ada yang bisa aku banggakan, kan? Sayang, kenyataannya begitu banyak praktik semacam ini,
aku tidak bisa membayangkan selama ini negara kita dilindungi orang-orang yang
bahkan tidak bisa memperjuangkan mimpinya sendiri.
Waktu ke rumah Oki itu,
aku pun memakai pakaian putih yang biasa dipakai seseorang ketika mengikuti
wawancara lamaran kerja, juga sebuah jam tangan anak-anak bergambar Superman. Oki—dengan
pakaian rapi dengan hijab dan sebagainya, serta kaca mata berbingkai bulat seperti
Harry Potter, yang membuatku merasa dia menyihirku agar aku terpesona
kepadanya—bertanya apakah kau sadar saat memakainya tadi? Dan aku rasa aku
sadar saat itu.
Bungkik, oh itu nama
panggilannya, nama sebenarnya Adit, datang ke rumah Oki setelah pulang kerja
dari sebuah rumah sakit. Aku tidak tahu bagaimana Bungkik bisa bekerja menjadi
seorang perawat mengingat dia hanya lulusan SMA, sama sepertiku. Aku dan Angel
iri, tentu saja. Angel menanyakan apakah dia bisa masuk juga. Dia lulusan
sarjana hukum. Tetapi sepertinya kau butuh lebih dari sekedar sarjana hukum
untuk bisa bekerja. Mungkin harus ada orang dalam.
Kami berempat pergi ke
rumah sakit untuk menjenguk Baby. Omong-omong aku tidak terlalu akrab
dengannya. Tidak seperti aku terbiasa dengan Angel atau Oki. Kalau Angel tidak
mengajak mungkin aku juga tidak ikut.
Kami membeli buah-buahan
yang sesegar mata Angel. Lalu langsung menuju rumah sakit. Oki membawa
buah-buahan itu sepanjang perjalanan dari tempat parkir sampai ke tempat untuk
menanyakan informasi. Aku lupa menawarkan diri untuk membawakannya, “kenapa kau
baru meminta, seharusnya kau memintanya dari tadi, dasar kau itu.” Kata Oki
sambil memberikan kantung kresek penuh buah.
Sampai di kamar Baby kami
mengobrolkan banyak hal, aku lebih banyak mendengarkan, tentu saja. Oki yang
melepaskan kacamatanya berusaha bercerita dengan meletakkan dompet dan kacamatanya
bersisihan. Aku tidak tahu mengapa harus seperti itu, hanya saja dia
benar-benar melakukannya, mengangkat dan menurunkan kacamatanya dari lantai,
menggesernya, berusaha mencari tempat yang tepat bagi kedua benda itu tetapi
tidak pernah menemukannya.
Sampai akhirnya obrolan
itu menjurus kepadaku, tentang aku yang berusaha menulis tetapi belum berhasil
juga. Angel lah yang membangkitkan obrolan ini, padahal aku sudah bilang
kepadanya tadi untuk jangan membahas itu waktu kami mengobrol berdua di rumah
Oki. Membahas hal itu membuatku merasa bodoh. Dan mungkin aku memang bodoh.
Kemudian obrolan beralih ke
peristiwa tisu, di suatu kafe di mana Angel memergoki aku berusaha mengambil
tisu, tetapi kesusahan. Dia selalu tertawa ketika mengingat hal itu, dan aku
mengatakan kalau itu sebenarnya aku lakukan karena waktu itu aku melihat dia
sedang diam mengamatiku, dan aku melakukannya agar dia tertawa. Tetapi itu
memang kebodohanku saja, kurasa. Lalu Oki menceritakan pertemuan kami tak
sengaja di jembatan di mana dia mengira aku sebagai seorang gembel. (Ya, baca saja di sini. Kurasa tulisan itu cukup baik dan puitis daripada yang ini).
Lalu aku lupa apa saja
yang kami bicarakan. Sampai akhirnya kami berpamitan kepada Baby untuk pulang,
tetapi kami berempat justru pergi ke SMA kami yang tepat berada di depan rumah
sakit. Dua tempat ini kini sudah mengalami banyak kemajuan. SMA kami sudah
memiliki lapangan futsal yang lebih baik dan fasilitas yang lebih bagus
daripada dulu ketika kami berada di sana. Kami mampir ke salah satu tempat
untuk minum es, namanya kantin, kalau tidak salah.
Ketika hendak pulang kami
foto-foto, ada banyak murid di sana, meski waktu pulang sudah tiga jam lalu.
Entah mereka mengikuti ekstrakulikuler atau hanya berpacaran. Sungguh masih
sangat ramai. Berbeda dengan waktu ketika kami masih menjadi siswa di sini.
Para siswa itu mengawasi kami, Angel sedikit malu, tetapi tetap melanjutkannya.
Ketika itu jatuhlah meteor tepat di tengah lapangan. Kami berkerumun di sana melihat
lubang bekas meteor itu. Kami semua pingsan.
Aku tidak ingat apa-apa
lagi setelah itu.
*
Sebenarnya aku sudah menulis ini beberapa bulan lalu, tetapi aku baru sempat
membuka blog ini dan mempostnya.
Yhaaaaaaa... post terakhirnya kok bulan Mei :'( Gak kepingin diapdet lagi??
BalasHapusNulis lagi dooongg :'((((