Sore yang Indah, 6 Juli 2017

Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat di beranda rumah, namun aku malah pergi untuk segelas kopi dingin bersama seorang temanku—seharusnya ini menjadi sebuah reuni dengan teman yang satunya lagi karena lama tidak bertemu, namun saat teman lama itu dihubungi tidak merespon, padahal dia sudah berjanji, akhirnya kami pergi berdua saja ke kedai kopi.

Suasana saat kami datang cukup sepi, hanya ada segerombol pemuda di tempat duduk di dekat kasir, pasangan pemuda pemudi yang terlihat mesra sedang berpegang tangan, dan entah mengobrolkan apa sesekali menyesap minuman mereka; datang beberapa orang lagi, beberapa laki-laki yang datang bersama beberapa gadis berjilbab dan seorang gadis berbaju merah dengan rambut hitam terurai memakai rok mini dengan warna senada memperlihatkan pahanya yang kecil tapi tetap membuatku ingin melihat apa yang tersembunyi di balik rok itu, kemudian mereka naik ke lantai dua. Orang-orang yang lain sibuk dengan apa yang mereka lakukan tanpa memperhatikan lagu Spanyol yang sedang mengalun di kedai kopi itu tidak sesuai dengan video musik yang ditampilkan di layar, dan aku juga tidak mengerti kenapa bisa-bisanya di kedai kopi di kota kecil  seperti ini memperdengarkan lagu dengan bahasa Spanyol.

Kami duduk di beranda, berhadap-hadapan. Dan karena aku dekat dengan rumah, aku membawa komputer jinjing karena tidak ingin rugi untuk kopi tanpa mengunduh film-film ilegal—maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kemudian temanku memintaku untuk duduk bersisian dengannya, karena ia juga ingin melihat apa yang aku lakukan di laptop. Ya, walaupun tidak ada apapun selain tab-tab serial barat saat ini sedang diperbincangkan—yang sama sekali ia tidak tahu karena tidak pernah mengikutinya—tab-tab Youtube dengan isi America’s dan Britain’s Got Talent, trailer kedua Game of Thrones musim ke tujuh yang kini sedang diperbincangkan karena Winter is Here menggantikan Winter is Coming, aku menontonnya beberapa hari lalu, Jisoo dan teman-temanya yang sedang menari di antara laju kereta dengan lagu terbarunya As If It’s Your Last, tab dengan artikel-artikel tentang penulis-penulis yang kehilangan kehidupannya; dan maafkan aku juga telah membuatmu kehilangan fokus.

Kami mengobrol tentang kenaikan harga pangan karena beratnya timbangan, kenaikan harga kopi di kedai kopi lain, tarif dasar listrik yang saat ini melambung tinggi, yang mana orang-orang menyalahkan presiden karena ini, sehingga mungkin kelak akan ada orang yang memanfaatkan hal ini sebagai dalih tambahan untuk menghasut masyarakat yang tidak mengerti untuk penggulingan kekuasaan; tentang Timur Tengah, konflik Israel dan Palestina yang di mulai sejak Alkitab ditulis dan tidak akan pernah mencapai babak akhir, sama seperti kebodohan yang tidak memiliki batasan; kami mengobrol tentang peserta America’s Got Talent dari Kanada, dan tab yang tak sengaja terbuka karena pengalihan akun tentang Tia Tanaka, yang kemudian membuatku mengunduh videonya, kemudian temanku menyarankan tentang Hitomi Tanaka yang memiliki payudara lebih besar—atau mungkin terlalu besar bagiku.

Kemudian kami mengobrol tentang teman kami yang—beberapa hari lalu mengobrol denganku di aplikasi instant messaging tentang agama, kepercayaan, budaya—kini sedang memperdalam ilmu Kejawennya di Kalimantan. Kurasa itu adalah hal yang sungguh luar biasa hanya dilakukan oleh orang-orang jenius, seperti tokoh-tokoh dalam cerita Murakami.

Aku ingat dulu, anak itu adalah anak paling malas di kelas, saat pelajaran matematika, yang padahal ia menghabiskannya untuk tertidur, dia ditunjuk oleh guru dan ternyata bisa mengerjakannya dengan mudah. Jauh berbeda denganku yang tidak pernah ditunjuk oleh guru karena kurasa beliau kasihan denganku yang sama sekali tidak mengerti walau hanya hal yang paling sederhana. Aku dengar, anak ini, selain memperdalam budaya dan filosofi Jawa, juga akan meneruskan kuliah teknik sipil untuk bekal saat ia menjadi gubernur di kemudian hari. Semoga, kelak, kita semua menjadi apa yang kita inginkan.

Saat sedang asyik mengobrol tak sengaja aku melihat sekilas dari arah jam sebelas, di mana segerombol pemuda duduk. Seseorang pemuda yang menggunakan kaus singlet hitam sedang melirik ke arah kami mengobrol dengan seorang pemuda yang mengenakan topi bertuliskan Girl timbul dengan ornamen paku payung, yang aku rasa mereka sedang membicarakan kami karena kami hanya berdua sejak tadi dan asyik dengan apa yang kami lakukan. Aku yakin orang-orang itu mungkin mengira kami adalah pasangan homo yang sedang pacaran.

Aku tidak mengerti, setelah maraknya berita tentang LGBTQ di televisi dan media-media daring—yang sering kali membuat judul berita terlalu panjang hanya untuk membuat orang-orang penasaran—kalau ada dua orang lelaki yang sedang ngopi, pasti diidentikkan kalau mereka sedang pacaran. Dan mereka sering kali menganggap para LBGTQ itu adalah orang-orang yang berbahaya. Apakah sebegitu dangkalnya otak-otak orang ini?

Dan aku adalah seorang heteroseksual, yang mana aku mencintai seorang gadis seperti Dante mencintai Beatrice (tapi ini cerita lain).

Aku sendiri sudah tahu tentang LBGTQ sejak dulu sebelum marak diperbincangkan, dan aku juga memiliki kenalan seorang gay, aku membaca banyak literatur dengan tokoh-tokoh LBGTQ, menonton serial televisi yang secara gamblang menampilkan kisah cinta sesama jenis, laki-laki yang berpacaran dengan laki-laki, perempuan yang jatuh cinta dengan perempuan. Aku rasa tidak ada yang bahaya dari hal seperti ini, kecuali jika orang-orang itu adalah predator seks. Kalau melihat dari sisi lain, seperti cinta misalnya, apakah itu bahaya? Seperti dalam Shadowhunters, dalam serial itu ada dua orang laki-laki: Magnus Bane, Warlock atau penyihir keturunan Indonesia, yang berpacaran dengan Alexander Lightwood, seorang pembasmi iblis. Kisah mereka begitu romantis, begitu manis. Saat Magnus datang… kenapa aku malah membahas serial ini, sudahlah.

Aku bukanlah pendukung, atau bahkan pembela. Karena ini adalah hak asasi, jadi kurasa tidak ada yang perlu dibela atau apa. Hanya LGBTQ, kenapa mereka memandangnya begitu rumit. Berpikir seolah kaum itu hanya membutuhkan seks, padahal kita bisa melihat dari sisi lain, di mana mereka sama seperti kita, yang memiliki rasa cinta. Di Amerika sendiri memang masih banyak orang-orang yang membenci kaum seperti ini, namun mereka sudah dididik dari kecil akan hal ini, agar mereka lebih memandang mereka—kaum LGBTQ—sebagai manusia, seperti mereka mulai mendidik untuk tidak lagi rasis juga tidak membenci Muslim. Mulai dari literatur misalnya: seorang penulis buku fantasi anak-anak, yang kebetulan aku suka karya-karyanya, Rick Riordan, dalam bukunya yang bertema mitologi Nordik berjudul Magnus Chase, memasukkan karakter gender fluid—aku tidak tahu istilah apa yang tepat untuk ini dalam Bahasa Indonesia, ‘jender cair’?—menjadi salah satu tokoh utamanya. Juga memasukkan tokoh-tokoh Muslim, dan menjabarkan tentang bagaimana orang Islam beribadah, halal haram dan lain-lain.

Orang-orang Amerika dan Eropa memasukkan hal seperti ini ke dalam novel karena mulai dari kecil mereka membiasakan budaya membaca, jadi kurasa untuk Indonesia, yang minat bacanya rendah—kecuali membaca berita dengan judul menggoda seperti, “Menakjubkan, orang ini…”, “… Bikin ngelus dada…”, “… nomor tujuh bikin…”, “Orang ini bertanya…. Jawaban orang ini bikin tertegun…” dan berita mengejutkan lainnya—mungkin hanya bisa mulai mendidik untuk menerima keberagaman jender dan juga budaya, serta ras, agama dan lain-lain hanya dari sekolah. Meski mungkin ini adalah hal yang begitu sulit, karena masalah seks yang begitu tabu di sini, berbeda di sana yang sejak kecil sudah diajarkan dalam hal seperti ini.

Bagaimanapun mereka—para LGBTQ—adalah manusia, dan mereka berhak mendapatkan haknya untuk mencintai, hak untuk hidup dengan tenang dan lain-lain. Jadi mengapa sih kita enggak nerima keragaman jender ini seperti kita menerima keberagaman suku dan kepercayaan.

Kemudian, karena kami sudah terlalu lama di sana, orang-orang berlalu lalang keluar masuk menggantikan yang lain. Tempat di mana segerombol pemuda tadi duduk digantikan oleh dua gadis berjilbab yang aku lihat sedang melakukan swafoto; dan aku sudah mengunduh banyak film ilegal—yang sekali lagi, maafkan aku—dan juga beberapa buku-e dari situs yang legal, aku tidak tahu lagi harus mengunduh apa, maka aku mengunduh TED Talk dengan banyak pembicara. Salah satunya aku mengunduh TED Talk-nya Sujiwo Tejo, sang guru Jancuk ini, tentang menemukan harmoni di dalam kekacauan, yang mengajarkan matematika, di mana setelah—sampai rumah—kutonton membuka pandangan baruku tentang matematika yang tidak hanya sekedar angka.

Yang dulu kukira matematika adalah kepastian, sekarang aku tahu kalau matematika adalah sebuah kesepakatan. Logika, konsistensi logika. Di mana kini aku menyadari, dulu, bukannya aku tidak bisa matematika, aku hanya tidak sepakat dengan rumus-rumus yang sudah diciptakan oleh orang-orang itu. Matematika adalah orkestra kehidupan, di mana cara kita menghargai keberagaman dalam kehidupan. Matematika adalah bahasa, seperti halnya yang sedang kaubaca.

Dan sesungguhnya, walaupun sudah tahu dari sejak dulu, inilah pertama kali aku berkenalan dengan Sujiwo Tejo, yang membuatku muncul keinginan untuk menjadi seorang Jancukers, atau mungkin berguru pada Ki Jancuk ini.

Setelah pukul setengah sepuluh malam, kami pulang. Di rumah, aku menghangatkan sup untuk makan malamku. Menghangatkan tubuh setelah terkena angin di perjalanan dengan semangkuk sup kurasa adalah sebuah pilihan yang tepat; di sup ini ada banyak sayuran, dan yang tidak aku suka adalah brokolinya, ada beberapa orang yang tidak suka dengan wortel atau kentang, dan ada yang sepenuhnya membenci sayuran, dan itu tidak lantas membuatmu hanya membuat sup dengan daun seledri dan daging ayam saja. Tanpa bahan-bahan yang lain, mungkin itu tidak akan menjadi sup, atau mungkin bisa, hanya saja rasanya tidak enak.

Saat aku ingin buang air, sekilas aku melihat ular melata dengan anggun di lantai. Seharusnya aku berteriak, karena aku cukup penakut dengan hal ini, namun aku segera mengambil toya yang kuletakkan di atas pintu kamarku, dan Bapak sepertinya juga melihat ular itu. Pukul, teriaknya, dan aku berusaha mengejar ular itu, yang mungkin sudah keluar rumah. “Tak usah pikir,” kata Bapak, saat tahu kalau ular itu tidak akan ketemu, “biarkan saja, tadi itu hanya ular yang sedang mencari tikus di rumah, sekalian biar enggak ada tikus di rumah.”

Ya, dan sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli, apa yang aku lakukan tadi hanyalah instingku saja karena kebiasaan kalau melihat hal yang berbahaya, sama seperti kalau aku ketakutan akan sesuatu.

Setelah itu, aku tidak lantas terus tidur. Aku masih menjerang air untuk membuat satu gelas kecil kopi lagi, kopi yang akan menemaniku duduk menonton TED Talk-nya Sujiwo Tejo tadi, dan kemudian membuatku mengetik ini.


Setelah cukup larut, di mana malam telah diam, menambah keanggunan sang rembulan, aku terpikir akan wajah seorang gadis, Beatriceku yang akan mengantarkanku ke dalam lelap yang sejenak membiarkanku memimpikan dirinya, namun ketika terbangun membuatku menyadari betapa aku sendiri selama ini.

Komentar

  1. Random sekali ini tulisan. Huwahaha. Yang LGBTQ gue nggak perlu komentar banyak deh, ya. Itu pilihan hidup masing-masing seperti kata lu. Mereka tetap manusia dan nggak perlu dipandang hina. :)

    Yang Mbah Sujiwo itu pas tahun 2011 gitu apa, ya? Gue udah nonton dari 2015 kalau nggak salah deh. Suka sekali dengan penjelasan Matematika itu termasuk bahasa. Terus Mbah Jiwo bilang orang-orang yang Drop Out itu sebenarnya mendobrak sistem. Wqwq. Ya, intinya mah meski gagal di perkuliahan, jangan sampai gagal juga menjadi manusia. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali, sangat random, dan aku sangat spontan nulisnya, haha... thats right.

      yup yang itu... sungguh ternyata sujiwo tejo itu keren...

      Hapus
  2. Pembahasannya ngembang banget kayak mie kuah yang kelamaan gak di makan. Eh. Hahahaa

    Tenang, hampir semua orang emang gitu. Kalo pergi berdua sesama laki dikira homo. Pergi berdua antara laki dan perempuan dikira pacarnya.

    Ngeri euy ada ular masuk rumah 😲

    BalasHapus
    Balasan
    1. ngembang kayak anunya hitomi tanaka.

      hhaha iya begitu....
      haha iya tapi untungnya cuma numpang lewat.

      Hapus
  3. Hahahaaa ini penjabarannya kemana-manaa :D tapi nda apa, artinya kamu banyak tau Man :D hihih

    Masalah LGBT itu, entah kenapa juga yaaaaaak, semacam udah tersugesti sama anggapan banyak orang, ketika liat cowok berdua di cafe itu sukanya nganggep 'lah ini nih, ini nih'. Terus aku juga kalau main berdua sama cowok kadang juga mikir 'jangan-jangan orang-orang nganggep kami gimana-gimana nih' wkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha maafkan saya.
      ya begitulah, mungkin karena saat itu aku juga mikir sama kayak kamu....
      hidup ini indah.

      Hapus
  4. Eh ini baguuus. Suka sama gaya bahasanya. Muahaha. Temen deket gue juga ada tuh yang jadi jancukers. Kelakuannya mirip sama gaya bahasa lo gini. \:p/ *no offense ya

    BalasHapus
  5. Padahal kelihatannya sderhana yaa.. Kyak cuma curhatan di sore hari smbil mnum teh.. Tp nyatanya.... Sprit tiu lebih enak. Eh sorry, kok malah iklan. Trnyata pemikiran dan penjabarannya jd berat beginihh. Hmm.
    Aku merasa wawasanku masih sempit, Muh. Sudjiwo tejo aja aku gatau mukanya kyak gimana. Tp sering dger namanya sih.

    Emg kalo laki beduaan ke cafe gtu dicap homo ya? Paling cuman kyak ledek2an gtu doang si, buat lucu2an ciee2an gtu. Kalo di drama atau di film2 itu dsbutnya bromance kan? Justru aku suka, soalnya lucu, keliatan akrabnya. Bukannya homo.
    Emm, aku komen apasi? Aku bingung sbnernya. Ya, wawasanku hnya sbatas drama korea dan pilem2, Huaha:"D

    BalasHapus
  6. Download itu perlu (mantan downloader) :)

    BalasHapus

Posting Komentar

"Berkomentarlah." begitu kata Jackh Linborginh