Tentang Kebenaran Kabar dan Bagaimana Selanjutnya



Apakah kemarin aku mengeluh tentang kehidupan asmaraku? (Percaya atau tidak sebenarnya aku sendiri merasa jijik ketika menulis ini) Tentang cinta yang kandas karena bentangan janur kuning yang hampir saja melengkung? Ya, hampir saja, dan untungnya lagi kata hampir itu hanyalah berada imajinasiku, tidak, bukan imajinasiku, tak sepantasnya aku menyalahkan imajinasiku, yang ku maksud adalah tentang keaslian kabar itu, kabar kalau dia menikah.

Mungkin kau harus membaca pos sebelumnya terlebih dahulu agar kau bisa mengikuti, dan melihatku patah hati sangat dalam. Kalau kau mau kau bisa membacanya di sini.

Kabar itu masih kuragukan.

Ya. Jadi begini teman, apakah kau pernah memikirkan sesuatu dan tiba-tiba saja sesuatu itu secara tidak sengaja datang ke kehidupanmu menjadi kenyataan? Seperti ketika kau tiba-tiba saja membayangkan ada mobil warna merah, tiba-tiba saja ada mobil sungguhan warna merah lewat di depanmu. Ya, aku yakin pasti pernah. Saat setelah itu aku terus saja memikirkannya, aku depresi karenanya bagaimana mungkin aku bisa melupakannya, dia hadir dalam depresiku, ketika aku duduk sendiri di meja yang berantakan dengan posisi jongkok serta tatapan kosong mengawang-awang dalam  kehampaan, dia ada di pikiranku, seharian, setelah itu, hari-hari berikutnya aku terus memikirkannya, tanpa henti seolah-olah pikiranku adalah seekor kuda yang selau berlari tanpa mengenal lelah, dan dialah yang menungganginya. Dan entah kenapa dia benar-benar datang ke rumahku, aku benar-benar tidak menyangka ini akan terjadi, tapi sayangnya bukan karena ada urusan denganku, ia menemui ibuku entah apa yang dikatakannya, aku hanya mendengarnya ketika memanggil ibuku di depan pintu, aku tidak tahu kelanjutannya setelah itu. Aku terlalu sibuk dengan depresiku, sampai-sampai aku baru sadar bahwa yang datang adalah dia setelah dia keluar dari rumahku.

Malam harinya setelah itu tiba-tiba saja ia mengirimiku pesan facebook, aku tahu tampaknya ia tahu kalau aku sedang memikirkannya, tadinya aku hendak tidak membalasnya karena sakit hatiku, seharusnya aku tidak bisa memaafkannya begitu juga memaafkan diriku, tapi aku harus berdamai dengan semuanya kalau tidak ingin terus terjebak dalam belenggu kehampaan dan kegilaan, aku tahu ini semua akan berujung gila jika aku terlalu menikmati depresi karena patah hati ini.

Maka dengan menimbang semua itu aku memutuskan harus membalasnya, aku membalas pesannya yang merupakan sapaan sederhana, “Hai, Mas Muha.” Ya sebenarnya aku agak jengkel ketika dipanggil “Mas”, dan aku juga sudah pernah bilang kepadanya untuk tidak memanggilku “Mas”. Dulu entah bagaimana dia memanggilku, aku lupa, tetapi yang pasti bukan panggilan norak semacam umi abi atau raja ratu atau beberapa panggilan lainnya yang menggelikan, bukan sama sekali. Tapi saat menerima pesan itu aku sudah tidak peduli ia memanggilku apa, bahkan kalau ia mau memanggilku abi atau  bahkan umi sekalipun silahkan saja, resiko terbesarnya mungkin juga cuma muntah saja, apa peduliku, aku sudah benar-benar depresi saat itu.

“Apa kabar. Lama enggak ada kabar ke mana saja?” begitu isi pesannya setelah pesan pertamanya kubalas dengan sapaan yang sama.

Dan entah percaya atau tidak aku membalasnya dengan.

“Ada, aku masih tetap di sini menunggumu kembali. Kamu yang tidak ada kabar.”

“Kabarku baik-baik saja kok, bagaimana denganmu? Di mana kamu saat ini? Kok kita gak pernah ketemu?”

“Memang sebaiknya jangan ketemu. Syukurlah kalau kamu baik, karena aku sedang tidak baik, kini aku sedang depresi sangat depresi dan aku mendalami depresi ini sampai benar-benar depresi. Aku tidak baik, kini aku berada di rumah sakit jiwa mengalami gangguan jiwa, aku sedang direhabilitasi. Jangan jenguk aku kalau kau tak ingin melihatku bertambah gila.”

Aku tahu ini benar-benar parah, dan parahnya lagi aku memang benar-benar menuliskannya seperti itu. Serius.

“Aku serius, kamu di mana?” balasnya lagi.

“Aku di rumah, dan seperti yang aku katakan, aku sedang depresi?”

“Kalau di rumah, besok pagi jalan-jalan pagi yuk, aku ingin bertemu, memang kamu depresi kenapa?”

Depresi kenapa katamu? Apakah kau tak sadar? Ya mungkin kau mengira aku sudah melupakanmu. Tapi aku beri tahu kau sesuatu, aku tidak akan bisa melupakanmu meski gelombang tsunami membabat habis jiwaku hingga hanya tersisa namaku, aku akan terus mengingatmu selama itu.

Ya seperti itulah semua berlanjut, apakah kau mengira aku benar-benar jalan bersamanya pagi harinya, tidak, hal itu tidak terjadi, padahal malamnya aku sudah mengiyakannya, namun aku tidak melakukannya, aku masih sibuk depresi sendiri pagi itu, lagipula siapa yang mau jalan-jalan dengan calon isteri orang.

Alasan utama tidak ikut jalan dengannya sebenarnya adalah aku tidak ingin melihat wajahnya, aku takut akan kembali lagi terjebak di masa lalu, aku takut aku tak bisa kembali dari sana, terjebak di sana dengan ketiadaannya sangatlah menakutkan, aku tidak ingin membayangkan hal itu terjadi pada diriku, aku pasti akan tewas dalam imajinasiku saat membayangkan hal itu terjadi padaku.

Jadi ketika dia lewat depan rumahku, aku hanya memandangnya dari kejauhan, saat itu juga ia sedang memandangku, nampaknya ingin mengajakku namun seperti yang aku katakan aku tak mau, biarlah, aku melihatnya dari kejauhan rasanya sudah sangat sakit sekali, apa lagi aku berbincang dengannya, mungkin lebih sakit dari gigitan semut-semut nakal.

Dan entah kenapa aku masih terus melanjutkan menikmati depresi, hari itu aku terus mengurung diri menangisi sisa-sisa harapan yang dulunya ada kini telah tiada, aku menangis dalam tangisan yang tak bersuara, hatiku terus tercabik dengan mengenangnya, aku putuskan untuk menikmati terus menerus depresi seperti ini, menurutku kapan lagi aku bisa depresi sebegitu hebatnya hingga seperti dalam mimpi.

Lagipula ini semua memang perlu diratapi, patah hati memang harus diratapi dan juga dinikmati agar bisa menjadi  sebuah kenangan, walaupun itu kenangan pahit, namun tetap saja itu adalah sebuah kenangan.

Aku tahu seharusnya mengiyakan ajakannya agar aku bisa bertanya tentang kebenaran kabar itu, namun aku sepertinya belum siap menerima jawaban darinya yang mungkin akan sangat menusuk hatiku, bagaimana kalau kabar itu benar? Bagaimana kalau ia benar-benar akan menikah dengan orang yang sudah beruban? Bukankah hal itu terlalu kejam baginya? Juga bagiku?

Aku belum siap. Hatiku masih sibuk patah hati, kopiku yang berfungsi untuk mengalahkan pahitnya patah hati telah habis, kini ampasnya mengering di dasar cangkir, aku hendak membuat kopi lagi, dua gelas mungkin, aku ingin meminumya dalam satu waktu ketika masih sangat panas, aku tak hirau akan panas yang mampu membakar bibirku, aku tak takut kalau detak jantungku akan berpacu lebih cepat, aku tak yakin jantung itu akan berpacu sampai titik penghabisannya, hanya dua gelas kopi tak akan mampu menghabisiku. hanya cinta, mungkin hanya cinta yang dapat menghentikan jantungku.

Malam itu, beberapa hari setelah aku di ajak jalan olehnya, aku mengumpulkan keberanianku dengan segelas kopi di tanganku, serta pendar cahaya laptop di wajahku dalam kegelapan kamar yang kelam itu, aku memberanikan diri untuk bertanya, aku ketik pesan untuknya, seperti biasanya dulu, mungkin hal kecil semacam ini akan membuatnya sedikit ingat akan kenangan kita dulu.

“Hai, Putri?” Aku beritahu kau, namanya bukan putri, hanya saja aku ingin memanggilnya begitu. Walaupun namanya mungkin hampir terdengar seperti itu, coba tebak kalau kau bisa.

“Hai juga.” Hidup ini terkadang menyebalkan.

“Masih di rumah?”

“Masih, kenapa?”

“Apa kabar? Katanya kamu mau nikah, ya?”

Aku mengetikkan kata-kata itu dengan perasaan yang aneh, semacam gila bercampur dengan apalah, aku yakin ini adalah cara terbaik untuk menanyakannya, aku sudah menimbangnya aku tidak akan sanggup kalau harus bertemu dengannya dan menanyakan pertanyaan ini tetapi ternyata jawabannya adalah iya. Saat menunggu kabar ini pun aku sangat tidak sabar, padahal tidak ada satu menit ia membalasnya, namun aku merasa ini semua seolah berpuluh-puluh detik.

“Hahaha sama siapa? Kabar dari mana kamu?”

“Haaha lucu ya, bagaimana kalau kamu menjawabnya saja.” Aku berharap jawabanmu tidak, dan kau akan menikah denganku suatu waktu.

“Hahaha enggak lah, aneh-aneh saja kamu itu.”

“Aku serius.”

“Iya aku gak bohong.”

“Oke.”

Aku menyudahi obrolan itu, sengaja, dan sekaligus mencerna semuanya tentang semua pesan itu, apakah ia berbohong? mungkin saja, ataukah aku saja yang terlalu paranoid kehilangan dirinya, mungkinkah kabar itu benar-benar hanya kabar angin yang di ucapkan sembarang orang lalu terhempas ke orang lain yang menerima kebohongan itu, dan diterbangkan lagi ke orang lain lagi, entahlah.

Namun menerima jawaban itu, aku sedikit tersenyum. Agak terang kini sepertinya suasana hatiku, dan mungkin aku berani bertemu dengannya dan menanyakan hal itu lagi dengan cara bercanda, siapa tahu semuanya segera membaik setelah itu.

Jadi begini kesimpulan dari semua ini, aku tidak mengerti kenapa aku patah hati mendengar kabar dia menikah, dan setelah aku tanyakan ke dia langsung ternyata kabar itu bohong katanya, lalu aku tidak peduli setelah mendapat jawaban itu, apakah yang harus aku lakukan? apakah aku harus memintanya kembali kepadaku? kadang aku bingung dengan perasaanku ini, tapi biarlah, aku terlalu pusing memikirkan ini semua.

Biarlah segala sesuatu berjalan seperti apa adanya.

… aku dan dia hidup bahagia selamanya.

Tamat.

Komentar

  1. Hahaha ini kisah nyata atau fiksi, ceesku? Anjir sumpah saya pernah ngalamin persis kaya gini pas kuliah dulu (tingkah galau nya, bukan salah pahamnya).

    Good job. Beautifully written.

    BalasHapus
  2. nyesek ya kalo sang pujaan hati nikah duluen *eh

    BalasHapus
  3. Jadi.. dia nggak nikah? Jadi itu cuma rumor butiran debu? Alhamdulillah ya :D

    BalasHapus
  4. itu gosip kayaknya... tapi dia bakalan nikah kayaknya

    BalasHapus
  5. hmmm........ lega bacanya.. gak jadi nikah.. kamu buruaann.... cari modal, lamaarr....!! keburu diambil orang. ntar sakit hati lagi. sakit loh. depresi jangan dinikmati ckckckk

    BalasHapus
  6. Eh ini gimana brati ._. dia nikah beneran atau enggak ._. kalau beneran sih, sakit ._. kalau enggak sih, buruan ajak nikah ._.

    BalasHapus
  7. Nggak sensitif ya Muhai, pas adegan depresi tuh... hehehehehe :D

    BalasHapus
  8. Hahahaha... kalaupun jadi menikah.. tetap semangat ya.. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

"Berkomentarlah." begitu kata Jackh Linborginh