Mengalirkan Waktu dengan Kafeina di Nadiku

Waktu tak mengalir jika kau tak berkhayal, kata Orhan Pamuk, dalam bukunya My Name is Red. Dan itulah yang aku rasakan ketika aku buntu, berjam-jam duduk di depan laptop, dengan catatan kecil yang lesu berdampingan dengan pulpen merah di kiri laptop. Di kanan, lembar-lembar kertas yang suci atau penuh coretan, ditindih ponsel yang terus diam, namun menggoda supaya aku menyentuhnya. Di pojok meja tumpukan buku hampir jatuh. Semuanya diam. Bahkan jari-jariku sendiri, hanya ada sedikit gerakan dari kedua telunjuk yang mengelus huruf F dan J yang diam. Berjam-jam terasa sama sekali tidak berlalu. Aku merasa terjebak di galaksi luar di mana masa tidak berlaku, sama sekali tidak ada yang terjadi, hanya melayang-layang di sana, menunggu orbit mengeluarkanku dari putaran kekosongan, dan mengembalikan ke kenyataan. Lalu jemariku mulai kesal mengacaukan rambut yang dirapikan sisir tadi sore.

Aku sering kali merasa seperti itu di dingin malam, ketika aku ingin melanjutkan novelku—yang tak selesai-selesai, atau ketika akan membuat cerita baru, yang pasti menambah penderitaanku yang seru. Payah memang, aku merasa hal itu tidak bisa ditangani, namun aku bisa menenangkan diri dengan secangkir kopi.

Aku jarang sekali bisa membuat kopi tubruk dengan tepat, jadi aku seringkali waspada, apa lagi waktu malam hari. Kadang kala kopi benar-benar membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku harus tetap terjaga sepanjang malam padahal aku sudah ingin terlelap dan akhirnya aku harus menerima kenyataan tidur dengan mata merah dan perih di pagi harinya. Pernah juga terjadi pada teman-temanku yang datang ke rumahku begadang bermain monopoli, catur, juga sembari menonton bola—walau sebenarnya aku tidak benar-benar menonton bola karena aku tidak begitu paham. Aku membuat kopi untuk menemani malam kami, dan mereka mengatakan kalau kopi buatanku pahit dan terlalu kental, dan aku juga menyadari hal itu: rasanya sepahit masa lampau tentang kekasih bekas yang tidak ingin lagi kau ingat, tetapi sayangnya dia muncul begitu saja menjelma sebagai rasa pahit di lidah. Aku rasa itu karena komposisi kopi lebih banyak daripada gula. Kopi itu membuat mereka mulas, dan ingin segera pergi ke toilet. Jadilah toilet rumah sebagai toilet umum dengan antrian yang ramah.

Aku sudah biasa merasa mulas ketika minum kopi buatan sendiri karena kepahitan atau terlalu manis. Dan itu memang menyebalkan. Namun beberapa hari ini aku tidak khawatir lagi akan kepayahanku dalam meracik kopi. Aku pergi ke dapur, dengan suara ribut perkakas dapur, denting cangkir yang menyentuh lepek dan halus nyala kompor serta jatuhnya ribuan serbuk kopi yang dihempas gravitasi. Suara adukan yang terdengar bersamaan dengan uap ringan yang perlahan naik dan hilang menjadi aroma yang menenangkan kegundahan.

Sungguh, aku tidak bisa membuat
gambar yang lebih baik daripada ini.

Dan seperti kataku, aku tidak perlu lagi waspada, karena kali ini aku membuat Kopi Kapal Api yang kurasa takarannya sangat tepat. Aku ingat dulu, waktu masih SMA, ketika membolos, temanku memberi petuah padaku, “jika kau di warung kopi jauh, ketika di perjalanan, dan kau merasa lelah dan ngantuk, hal yang paling tepat dan bijaksana untuk kau putuskan adalah tidur… Atau kau juga bisa memutuskan kopi apa yang harus kau pesan.” Dan dia memesankan kami kopi Kapal Api. Karena kau tidak pernah tahu apakah pedagang di warung itu dapat meracik kopi dengan baik atau malah mengacaukan kopi sepertiku, jadi saran terbaik untuk itu adalah Kopi Kapal Api, di mana kau bisa menemukannya di warung-warung sederhana, atau di minimarket dan di mana-mana.

Aku terus mengingat momen trivia itu sampai saat ini, dan itu juga yang aku lakukan ketika aku tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke kedai kopi yang sedikit berkelas tempat para remaja jaman now meletakkan bokongnya dengan damai. Aku pergi ke warung kopi sederhana yang sudah menyediakan koneksi internet gratis. Sayangnya warung-warung kopi zaman sekarang mengabaikan hal sakral dari budaya ngopi, mereka membuat kopi asal-asalan karena mereka mengira kita datang hanya untuk memanfaatkan akses internet gratis yang mereka sediakan, padahal kopi juga menjadi aspek penting kenapa kami pergi ke warung kopi. Budaya ini tidak disebut ngopi dengan tanpa alasan. Aku yakin, Kiva Han, kedai kopi pertama di dunia yang berdiri tahun 1475 di Turki tidak akan berdiri jika kopi mereka tidak enak—Ya, walaupun aku belum bisa merasakan kopinya, aku yakin kopi mereka pasti enak, kalau tidak mereka tidak akan berdiri sampai saat ini turun-temurun dari generasi ke generasi. Jadi untuk menghindari kerusakan di perutku dan membuatku jadi phobia terhadap kopi, aku lebih memilih untuk memesan Kapal Api yang jelas lebih enak, selalu pas, dan selalu aman bagiku. Tidak terlalu pahit menghajar lidah dengan begitu kasar tanpa ampun, atau terlalu manis sehingga kau terbuai dengan janji yang menipu dan sekali lagi membuatmu berakhir di toilet untuk mencuci isi perut (serius, terlalu pahit atau terlalu manis sering kali berakibat buruk. Kisah cinta yang terlalu manis bisa membuatmu merasa muak, dan jika kisah cintamu terlalu pahit, kau pasti tahu penderitaan apa saja yang kau lalui, tapi mungkin kau bisa menjadi pujangga setenar Pablo Neruda).

Aku minum kopi apa saja walau aku tidak tahu banyak tentang kopi seperti para barista di kedai kopi, yang sering bercerita tentang asal usul kopi, dan macam-macam kopi (arabika, robusta, metafisika atau apapun itu), dan ini itu kopi sembari memamerkan ketangkasannya dalam meracik kopi yang sempurna. Ditemani suara mesin penggiling, menarik alat-alat dan menakar bubuk, menekan dengan tepat agar ukuran kopi dan air sesuai, memastikan berat dan suhu, menunggu pancuran dari mesin kopi memenuhi cangkir, dengan uap yang bisa kau cium dari setiap sudut kedai. Tapi aku cukup tahu kalau Kapal Api ramah bagiku, dan mungkin takarannya lebih baik daripada barista itu. Aku menyukainya, dan entah kenapa baru kali ini terpikir olehku: seharusnya aku menyediakan Kopi Kapal Api untuk di dapur, sehingga aku bisa membuatnya kapanpun kuinginkan.

Jujur, sebenarnya aku iseng membeli satu renceng Kopi Kapal Api Special Mix, hanya untuk mencari tahu nikmat Kopi Kapal Api demi menulis pos blog ini demi mendapatkan Samsung Galaxy Note 8, yang kurasa tidak akan kudapatkan karena begitu payahnya artikel ini (omong-omong kalau kau mau mengikutinya kau juga bisa membaca caranya di #KapalApiPunyaCerita). Tapi apa peduliku, setelah aku minum Kopi Kapal Api ini berturut-turut beberapa hari ini dan membaca kemasannya (kurasa ini perlu, karena mungkin ini yang disebut riset), akhirnya aku menyadari Kapal Api adalah pilihan terbaik untuk kalian yang tidak terlalu pandai meracik kopi sendiri, selain karena rasa dan aromanya yang pas—maaf aku tidak bisa menjelaskannya karena ini tentang rasa, kau harus merasakannya sendiri—juga karena harganya sangat terjangkau.

Meski aku sudah menuangkan kopi ke lepek, aku harus tetap sabar menunggu malam menurunkan suhunya, dan di saat seperti inilah aku tidak melakukan apapun. Aku hanya duduk menunggu seperti seorang istri menanti suami di dekat pintu pada jam pulang kerja, seperti seseorang yang menanti harapannya akan cinta terpenuhi, seperti menanti… Seperti kau menanti kelanjutan kalimat tadi, dan ternyata sia-sia karena tidak ada. Tetapi menunggu kopi menurunkan suhunya sangatlah berbeda, karena kala itulah terkadang hal-hal acak masuk ke pikiranku. Aku menyambutnya dengan senyum dan sadar kopiku sudah cukup untuk mencium bibirku, setelah menyesapnya sekali, aku membawanya untuk duduk di depan mejaku, kuletakkan cangkir di pojok meja, kusisihkan buku ke dipan di belakang kursi, dan aku memilih untuk mengingat. Di momen seperti ini—ketika kau sendiri di tengah malam dan kafeina mulai mengisi tubuhmu, kau akan teringat hal-hal yang tidak pernah kau ingat, atau kau mendapat banyak hal-hal acak yang begitu memesona jika kau menyelaminya.

Aku teringat, dulu ketika aku masih kecil, mungkin kelas satu SD, di dapur, pagi-pagi Ayah sedang duduk di kursi makan, sembari menyesap kopi dengan hidangan pisang goreng yang masih menolak untuk dijamah. Aku berlari dari kamar sembari mengusap mata, dan langsung megambil susu cokelat yang diletakkan di meja, yang dibuatkan Ibu khusus untukku, dan menyesapnya membuatku kepanasan. Ayah dan Ibu tertawa—hal-hal hangat di pagi yang dingin. Kemudian aku minta untuk diperbolehkan minum milik Ayah, karena aku iri melihat Ayah tersenyum setelah menyesap kopi dari lepeknya. Sayangnya mereka tidak mengizinkanku karena aku masih kecil, dan entah kenapa aku percaya begitu saja. Aku ingat dengan pasti, kopi itu adalah Kopi Kapal Api, karena waktu itu belum begitu banyak kopi instan, sehingga Kopi Kapal Api sangatlah mewah. Sekarang aku tidak heran kalau dulu Ayah tersenyum walau hanya menyesap kopi saja.  Sungguh, maksudku, lihatlah, kopi ini memang mungkin tidak semahal kopi impor, tetapi lihat kemasannya, dan bukan hanya kemasannya saja, sebenarnya, ini benar-benar mencerminkan isi dari kopi ini. Sangat nikmat jika kau tahu—sekali lagi ini soal rasa, kau harus benar-benar merasakannya untuk tahu, yang pasti, Kopi Kapal Api jelas lebih enak.

Dan mungkin aku bisa mengingat lebih banyak hal lagi di masa lalu jika aku terus biarkan Kopi Kapal Api menemani malamku. Khayalanku akan terus bertambah, dan aku menikmati waktu yang berjalan, tetapi aku rasa momen Kapal Api ini sudah cukup, sehingga aku langsung duduk di kursiku menghadap laptop dan mulai menulis.

Percayalah, waktu akan terasa lebih baik jika kau berkhayal di malam hari ditemani secangkir Kopi Kapal Api.

Mulai dari sekarang, sepertinya asyik jika aku menggunakan Kopi Kapal Api untuk teman menulis, entah itu puisi di sore yang merah di tempat yang sama, atau di malam dingin ketika aku ingin kehangatan sebuah pelukan yang tidak mungkin aku dapatkan, atau di pagi ketika embun jadi latar istimewa untuk menikmati secangkir kopi.

Komentar

  1. Dalam membuat postingan di blog saya juga paling sering ditemani dengan segelas Kopi, apalagi kalau sudah mengantuk pasti Kopi adalah teman terbaik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, kadang kalau lagi ngetik itu, suka pengen berhenti sejenak, entah itu nyeruput kopi atau hanya sekedar mengecek smartphone aja, yang padahal sudah jelas tidak ada notifikasi :D

      Hapus
    2. Haha begitulah. Enak emang pake kopi buat teman nulis... Dan smartpon emamng selalu ganggu. Tapi terkadamg juga harus pake smarpon untuk caritahu kalau ada sesuatu yang terlintas dalam benak dan kita enggak thau.

      Hapus
  2. emang enak sekali aroma kopi kapal api ini.

    BalasHapus
  3. Saya udah kurang suka kopi, ya itu sering mual ataupun mules. Mungkin seperti katamu, ya? Terlalu pahit atau terlalu manis itu. :(
    Beberapa kafe kadang emang cuma ikut-ikutan aja. Rasa kopinya suka nggak keruan. Padahal pas nonton Filosofi Kopi, jangan asal-asalan kalau jadi barista. Nggak pernah bercanda kalau soal kopi. Wq.

    E iya, itu kamu baca Orhan Pamuk yang terjemahan, kan? Bagus nggak, sih? Saya kepengin beli itu, tapi lupa mulu. Jadinya malah beli Etgar Keret yang The Seven Good Years. Haha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyap. Begitulah.


      Mereka, kedai-kedai kopi itu, mengira kita hanya butuh wifi saja.

      Iya bahasa indonesia terbitan serambi. Bagus. Enak bacanya. Terjemahannya enggak bingungin.

      Hapus
    2. Iyap. Begitulah.


      Mereka, kedai-kedai kopi itu, mengira kita hanya butuh wifi saja.

      Iya bahasa indonesia terbitan serambi. Bagus. Enak bacanya. Terjemahannya enggak bingungin.

      Hapus
  4. Kok Bisa Ya Minum kopi sampe mules terus berujung ke wc pula.

    Kalo Aku biasanya Kalo gak tahan minum kopi palingan juga kembung. Makanya jarang pake banget minum kopi. 😁😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya bisa dong. Kembung itu bukannya mules ya. Ya pokoknya mules terus pengen bab. Gitulah.

      Hapus
  5. kopi kapal api memamng nikmat, citarasanya khas... akupun suka...

    BalasHapus
  6. Haalooow muhaee! Sprtinya udh stahun lebih diriku tidak mninggalkan jejak d sni. (Pdhal 2018 baru 3 hri) Seringnya abs baca eh trs lupa komeng :')) wkwk

    Aku smpet ktipu sama potonya lohhh. Mnurutku itu kreatippp bgttttt!! Pdhal itu meja yg kebaret kan? Jd mirip kopi tumpah! Keren! Apalagi piring cangkirnya kok baa bgono sih?:/

    Btw, lepek tuh apa ya? Kukira rambut lepek. Haha. Lepek itu piring cangkir ato cangkir?

    Sayangnya aku tida suka mnum kopi krna pahiiit. Biarpun udh pake gula atau susu ttep aja pahit. Dan sdah beribu2 org yg blg klo mnum kopi phit itu kyak mnjalani pahitnya khidupan, tp aku ttap tdak suka kopi.

    ((Pdhal alasan sbnrny sih krna klo dibiasain ngopi takut doyan. Wkwk))

    Oh, ya. Smga dpt smsung S8! Dan slamat tahun baru!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha ya begitulah. Itu bukan pola kayu, itu beneran kopi. Kuedit.

      Iya lepek itu piring kecil tempat untuk menaruh cangkir biar stabil,.

      Enggk dong kopi ama kehidupan itu beda. Tapi kopi itu baik tapi aku sayangnya enggak dapet itunya. Haha

      Hapus
  7. Tiap pagi mas gw minum kapal api. Yagimana lagi, gw suka minum kopi hitam. Cari yang praktis ya kapal api.

    Btw salam kenal

    Oh iya saya pengen kasih saran. Kalo bisa kalo nulis blog jangan kepanjangan paragrafnya. Karna bikin mata pembaca jadi cepat lelah. Pecah tulisannya mas. Maksimal 5 baris. Gak harus sih, terserah berapa baris, tapi kalo bisa jangan panjang-panjang. Habis itu tekan enter.

    Kalo bisa abis nulis log-out dulu. Ntar kapan dibuka lagi, trus dibaca ulang dari awal. Diliat coba, kira-kira kepanjangan nggak paragrafnya. Yang bikin orang males baca blog kita ya karna kita nulisnya kepanjangan. Jadi mata cepet lelah waktu baca. Kalo udah oke, baru publish.

    Kaya tulisan ini. Tulisannya bagus, bahasanya mengalir, tapi sayang nulisnya kepanjangan. Rasanya mata jadi pedes kalo baca.

    Sekedar saran aja sih.

    Keep writing !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali.

      Wah saran yang sangat bagus sekali.
      Terimakasih.

      Hapus

Posting Komentar

"Berkomentarlah." begitu kata Jackh Linborginh