Postingan

Meteor yang Jatuh di Akhir Cerita adalah Omong Kosong, Begitu Juga yang Lainnya

“Apakah kau menulis semua dari pengalaman hidupmu, atau hanya dari imajinasimu?” tanya Angel. “Tentu saja imajinasi,” kataku, tidak ada yang benar-benar nyata, semua cerita adalah fiksi, seperti gosip yang terus berubah-ubah sesuai sudut pandang sang pencerita. Kurang lebih seperti itulah maksudku, tetapi aku tidak bisa menjelaskannya ketika aku mengatakan kepada empat temanku yang tengah berada di sebuah bilik kecil dari bagian ruangan sebuah rumah sakit yang berbau khas—kau tahu bau apa yang aku maksud. Ya, aku agak tidak suka aroma rumah sakit. Mereka tetap tidak paham dengan apa yang aku katakan, dan aku mencoba menjelaskannya lagi, memang aku agak tidak terlalu pandai dalam menjelaskan sesuatu. Yang kutulis tidak benar-benar nyata, hanya saja terinspirasi dari hal yang benar-benar nyata. Tentu saja seperti yang aku tuliskan ini, kurasa tidak sepenuhnya keadaan seperti ini. Aku tidak bisa kembali menuliskan segala detail: di mana semua bilik di tempat itu hanya d

Mengalirkan Waktu dengan Kafeina di Nadiku

Gambar
Waktu tak mengalir jika kau tak berkhayal , kata Orhan Pamuk, dalam bukunya My Name is Red . Dan itulah yang aku rasakan ketika aku buntu, berjam-jam duduk di depan laptop, dengan catatan kecil yang lesu berdampingan dengan pulpen merah di kiri laptop. Di kanan, lembar-lembar kertas yang suci atau penuh coretan, ditindih ponsel yang terus diam, namun menggoda supaya aku menyentuhnya. Di pojok meja tumpukan buku hampir jatuh. Semuanya diam. Bahkan jari-jariku sendiri, hanya ada sedikit gerakan dari kedua telunjuk yang mengelus huruf F dan J yang diam. Berjam-jam terasa sama sekali tidak berlalu. Aku merasa terjebak di galaksi luar di mana masa tidak berlaku, sama sekali tidak ada yang terjadi, hanya melayang-layang di sana, menunggu orbit mengeluarkanku dari putaran kekosongan, dan mengembalikan ke kenyataan. Lalu jemariku mulai kesal mengacaukan rambut yang dirapikan sisir tadi sore. Aku sering kali merasa seperti itu di dingin malam, ketika aku ingin melanjutkan novelku—yang tak

Lubang

Aku duduk di langkan jembatan tua hanya memakai celana bokser dan kaus kumal. Orang lewat yang sekilas melihat ke arahku, mungkin mengira aku seseorang yang sedang memancing, sama seperti mereka yang duduk di sepanjang jembatan ini, mereka datang dan pergi lewat di belakangku yang memandang gemerlap lampu dan keramaian lalu lintas jembatan baru. Para pemancing hening seolah itu syarat utama memancing. Mereka duduk menunduk, entah melihat umpan pancing yang jauh di bawah sana terbawa arus kemarau sungai Bengawan Solo, atau meratapi nasib di belakang mereka yang juga menunggu di depan mereka. Tapi tentu saja aku tidak sedang memancing, aku sedang ngopi bersama segerombol temanku. Benar-benar segerombol. Dua jembatan bersisian, yang tua dan baru, keduanya sama-sama sudah lama berdiri menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kini hanya satu yang digunakan sebagai jalan raya, sementara yang satu adalah tempat lain-lain: ada angkringan di kedua ujungnya seolah mereka tidak mengizi

Sore yang Indah, 6 Juli 2017

Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat di beranda rumah, namun aku malah pergi untuk segelas kopi dingin bersama seorang temanku—seharusnya ini menjadi sebuah reuni dengan teman yang satunya lagi karena lama tidak bertemu, namun saat teman lama itu dihubungi tidak merespon, padahal dia sudah berjanji, akhirnya kami pergi berdua saja ke kedai kopi. Suasana saat kami datang cukup sepi, hanya ada segerombol pemuda di tempat duduk di dekat kasir, pasangan pemuda pemudi yang terlihat mesra sedang berpegang tangan, dan entah mengobrolkan apa sesekali menyesap minuman mereka; datang beberapa orang lagi, beberapa laki-laki yang datang bersama beberapa gadis berjilbab dan seorang gadis berbaju merah dengan rambut hitam terurai memakai rok mini dengan warna senada memperlihatkan pahanya yang kecil tapi tetap membuatku ingin melihat apa yang tersembunyi di balik rok itu, kemudian mereka naik ke lantai dua. Orang-orang yang lain sibuk dengan apa yang mereka lakukan tanpa mempe

Tentang Teh dan Nafasku

Aku cukup yakin kalau kau melihat rambu peringatan di sepanjang jalan dengan tulisan bahwa jalan itu berbahaya, kau akan lebih yakin kalau jalan itu memang berbahaya jika dalam rambu itu ada gambar tengkorak manusia dan tulang menyilang di bawahnya. Namun tidak di masa sekarang, aku sudah lama tidak bermotor di jalan yang dianggap berbahaya, dan sekarang aku melihat rambu peringatan bahaya itu tidak semenyeramkan seharusnya. Yang aku lihat di rambu peringatan jalan rawan kini adalah semacam banner bertuliskan “Hati-Hati!!! Jaga Keselamatan, Rawan Kecelakaan.” Atau seperti itulah. Ya, aku cukup yakin mereka menggunakan tiga tanda seru, terlihat tegas sekali, bukan? Juga sedikit berima, seharusnya mereka membuat puisi agar lebih bagus, siapa tahu para pengendara ugal-ugalan ingin menyempatkan diri untuk membacanya. Dan di atas tulisan itu bukannya gambar tengkorak, tapi adalah gambar sekumpulan polisi berseragam cokelat seperti pramuka dengan topi kebanggaan mereka. Sehingg

Aku Hanya Ingin Mengatakan Kalau...

Ya begini, waktu itu di kedai kopi, malam hari. Beberapa menit sebelum waktu shalat Isya, aku pergi sendiri ke kedai kopi yang terdekat dengan rumahku, sebelumnya aku sudah sholat, karena tentu saja walaupun aku bukan fanatik, aku adalah orang yang tidak terlalu buruk dalam beragama. Ya, itu menurutku. Kalau tidak salah, tiga menit lebih empat puluh tujuh detik aku sampai ke kedai itu dengan menggunakan motor. Seperti biasanya aku mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah untuk cappuccino, lalu setelah itu aku duduk di meja yang paling luar, suasana cukup sepi ketika aku datang, hanya ada beberapa orang yang sibuk mengobrol dengan temannya, dan juga sepasang kekasih yang tampak serius, aku harap mereka tidak akan putus. Aku duduk sendiri, dan membuka laptopku sembari menunggu pesananku, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan, walaupun sebenarnya bukan pekerjaan, karena tentu saja aku adalah pengangguran paruh waktu. Beberapa saat setelah itu pesananku datang, dan