Aku Hanya Ingin Mengatakan Kalau...
Ya
begini, waktu itu di kedai kopi, malam hari.
Beberapa
menit sebelum waktu shalat Isya, aku pergi sendiri ke kedai kopi yang terdekat
dengan rumahku, sebelumnya aku sudah sholat, karena tentu saja walaupun aku
bukan fanatik, aku adalah orang yang tidak terlalu buruk dalam beragama. Ya,
itu menurutku.
Kalau
tidak salah, tiga menit lebih empat puluh tujuh detik aku sampai ke kedai itu
dengan menggunakan motor.
Seperti
biasanya aku mengeluarkan selembar uang lima ribu rupiah untuk cappuccino, lalu
setelah itu aku duduk di meja yang paling luar, suasana cukup sepi ketika aku
datang, hanya ada beberapa orang yang sibuk mengobrol dengan temannya, dan juga
sepasang kekasih yang tampak serius, aku harap mereka tidak akan putus.
Aku
duduk sendiri, dan membuka laptopku sembari menunggu pesananku, ada beberapa
hal yang harus aku kerjakan, walaupun sebenarnya bukan pekerjaan, karena tentu
saja aku adalah pengangguran paruh waktu. Beberapa saat setelah itu pesananku
datang, dan aku mengeluarkan buku yang sudah aku bawa dari rumah, The Brother
Karamazov terbitan Wordsworth Classic, harganya cukup murah, aku membelinya di
Periplus.
Aku
mulai membacanya sesekali menyesap kopi, tiba-tiba seseorang memanggilku,
“ngapain, Min?” aku menengok, dia adalah Boleng, dan temannya—aku tidak terlalu
kenal. Sebenarnya aku juga sudah lama tidak bergaul dengan Boleng dan
kawan-kawannya. Singkat cerita Boleng dengan temannya itu bergabung denganku,
dan beberapa saat setelah itu, ada seorang gadis berjilbab yang juga adalah
teman Boleng, dan lagi seorang gadis berjilbab lagi, adalah salah satu barista
di kafe ini. Aku tidak mengenal mereka semua, yang aku kenal hanyalah Boleng
saja.
Mereka
semua duduk di meja yang aku gunakan, tentu saja mereka mengobrol, dan karena
itu aku juga harus menaruh bukuku, untuk ikut berbicara dengan mereka walau
sepatah-dua patah atau beberapa patah kata. Ya aku sudah lama tidak ngopi
dengan Boleng, sehingga rasanya juga tidak apa, aku juga sudah terlalu lama
tidak bersosialisasi.
Boleng
mengangkat buku yang aku letakkan di meja, kepada Gadis Pertama—oh aku tidak
suka ini, bagaimana kalau kita memanggilnya Katrhine saja—Boleng mengatakan
“Kamu mau baca ini enggak?”
Kathrine
mengernyitkan dahi, mengambil buku itu, dan memegangnya beberapa saat seolah
menimbang berat buku tersebut, lalu dia berkata. “Aku masih waras kok, Mas.”
Katanya. “Buku setebal ini kamu suruh baca, mungkin aku pingsan.”
Aku
tersenyum, mungkin saja, aku juga pusing membaca buku itu.
Aku
tidak tahu kenapa, tapi satu hal yang tahu, dari kata itu: membaca buku adalah
perkerjaan orang-orang yang tidak waras. Mungkin memang benar adanya, lama
kelamaan semakin hari karena semakin banyak membaca, aku semakin merasa kalau aku
sendiri sebenarnya juga semakin tidak waras, aku juga merasa semakin tidak
bahagia, entah kenapa. Tetapi walaupun begitu aku masih saja tetap membaca
seolah membaca itu adalah seks, aku ketagihan untuk terus melakukannya. Walaupun
aku sendiri sebenarnya belum pernah melakukannya, maksudku, jangan terlalu
ambil pusing, aku hanya menggunakannya sebagai pengandaian saja.
“Aku
sendiri suka membaca buku sebenarnya,” kata Kathrine, “Tapi entah kenapa aku
tidak suka kalau itu adalah buku teks pelajaran, aku suka membaca novel, tapi
sayang ini tebal.”
Ia
meletakkan buku itu, dan mengambil buku pelajaran yang sedang dibawanya dan
membukanya, dia datang ke sini dengan maksud mengerjakan PR. Beberapa saat
setelah itu, ia mengambil ponselnya, dan mulai fokus dengan ponselnya, ia
mengatakan kalau tidak usah mengerjakan PR-nya, dan lebih memilih untuk
menyontek temannya besok pagi, terserah itulah pilihannya.
Aku
sendiri juga tidak terlalu suka dengan pelajaran, dan dulu waktu aku masih di
sekolah menengah atas, aku tidak pernah pergi ke perpustakaan, karena aku hanya
akan menemukan buku-buku pelajaran, dan tidak ada yang menyenangkan dari buku
pelajaran. Mungkin karena itu juga minat baca orang-orang di sini kurang,
seharusnya sejak masih sekolah mereka dikenalkan dengan cerita-cerita bukan
hanya angka, mungkin dengan begitu mereka akan mulai suka membaca, dan pada
akhirnya mereka tahu bacaan apa yang cocok untuk mereka.
Beberapa
hari setelah itu, aku sedang berada di rumah, dan pesanan bukuku dari toko buku
daring tiba, sepaket buku—Percy Jackson Ultimate Collection—seberat dua kilogram,
ya tidak terlalu berat, aku langsung membukanya, namun tidak membacanya, karena
tentu saja aku harus menyelesaikan apa
yang sedang aku baca terlebih dahulu. Aku bukanlah tipe tukang
selingkuh, aku akan menyelesaikan satu buku lalu baru membuka buku baru, kalau
tidak begitu, kenikmatannya akan semakin berkurang. Dan aku tidak ingin itu
terjadi pada saat aku membaca.
Melihat
itu bapaku bertanya padaku, “apa yang akan kau lakukan dengan semua buku-buku
ini, Anak Muda?” Aku harap kau tidak membayangkan bapaku mengatakannya dengan
nada seorang pemain teater di era Victoria.
Dan
aku menjawab. “Membacanya.” Tentu saja.
Beliau
marah karena aku terus membaca, beliau mengatakan kalau membaca buku itu tidak
harus dilakukan kalau sudah dewasa, membaca buku itu hanya dilakukan oleh
anak-anak. Ya mungkin intinya seperti itu, Tapi entahlah, aku tidak terlalu
paham apa yang dikatakannya, aku tetap mengabaikannya, karena aku rasa lebih
nikmat membaca cerita.
Bapak
sendiri adalah termasuk orang yang berprinsip kalau hidup adalah harus menjadi
sangar—apa istilah yang tepat selain ini?—anggaplah beliau ingin aku menjadi
seorang pahlawan yang bisa mengalahkan monster raksasa bermata setengah yang
mengeluarkan bau bangkai dari mulutnya, mungkin begitu.
Dulu,
waktu aku masih SMP—aku takut dengan huruf kapital rangkap tiga, seharusnya aku
menggunakan kata sekolah menengah pertama saja—teman-temanku sering main ke
rumahku karena aku adalah mungkin bisa disebut mereka adalah orang aneh yang asik, dulu aku mungkin
adalah orang mudah disukai teman, karena itu banyak temanku yang berkunjung ke
rumahku setelah pulang sekolah.
Di
kala itu, salah seorang temanku, yang bisa aku sebut nakal, dan memang benar
adanya. Aku berteman dengan semua orang, baik itu nakal atau bukan, tapi aku
tetap saja aku. Waktu itu saat ia bermain ke rumahku, seperti pada umumya anak
remaja, kami bermain Playstation, dan sebut saja nama mereka Alfin dan Rizal,
Alfin bertubuh besar, sementara Rizal tinggi, penampilan mereka garang sehingga
pantas jika disebut sebagai anak nakal—tahu sendiri nakal bagaimana anak SMP.
Mereka
juga berbincang dengan Bapak, entah apa yang diperbincangkan, mereka tertawa
seolah mereka adalah kawan lama yang baru berjumpa.
Entah
apa yang dikatakan bapak waktu itu, keesokan harinya, Alfin mengatakan kalau
aku tidak boleh menjadi pendiam, aku harus menjadi nakal. Alfin mengatakan,
“Men, kau tahu enggak, kalau sebenarnya kemarin Bapak kamu nyuruh aku buat ngajarin
kamu menjadi anak nakal. Jadi mari kita mulai pelajaran pertama…”
Dan
saat itu aku mengangguk, dalam hati aku berpikir, Wow, Bapak yang keren, orang mana lagi yang menginginkan anaknya
menjadi seorang seperti itu, mungkin
tidak ada Bapak di dunia ini selain dia. Mari kita beri tepuk tangan buat beliau,
tapi jangan terlalu keras, karena beliau pasti akan marah jika mendengarnya,
aku dengar-dengar beliau alergi suara tepuk tangan.
Aku
tidak tahu apa yang aku tulis ini, mungkin aku hanya ingin bilang kalau Bapaku
keren, atau entahlah, aku hanya merasa harus menulisnya, karena sudah lama juga
aku tidak menulis di blog ini, ya sekian, sampai jumpa.
Iya, Aku juga udah lama gak berkunjung kesini.
BalasHapusBisanya nah bapaknya mau anaknya jadi nakal ckckckk
Eh tapi kalo dibilang membaca cuman untuk anak kecil aku mau jadi anak kecil aja aahh.. ehehehee