Lubang

Aku duduk di langkan jembatan tua hanya memakai celana bokser dan kaus kumal. Orang lewat yang sekilas melihat ke arahku, mungkin mengira aku seseorang yang sedang memancing, sama seperti mereka yang duduk di sepanjang jembatan ini, mereka datang dan pergi lewat di belakangku yang memandang gemerlap lampu dan keramaian lalu lintas jembatan baru. Para pemancing hening seolah itu syarat utama memancing. Mereka duduk menunduk, entah melihat umpan pancing yang jauh di bawah sana terbawa arus kemarau sungai Bengawan Solo, atau meratapi nasib di belakang mereka yang juga menunggu di depan mereka.

Tapi tentu saja aku tidak sedang memancing, aku sedang ngopi bersama segerombol temanku. Benar-benar segerombol.

Dua jembatan bersisian, yang tua dan baru, keduanya sama-sama sudah lama berdiri menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kini hanya satu yang digunakan sebagai jalan raya, sementara yang satu adalah tempat lain-lain: ada angkringan di kedua ujungnya seolah mereka tidak mengizinkan kau datang tanpa menyambangi mereka. Kau bisa duduk di tikar yang sudah disediakan, menghabiskan waktumu semalaman memandang lalu lalang jalan sembari menyesap habis secangkir kopi. Atau memancing seperti orang-orang sembari mencoba melupakan—entah apa. Ada juga para remaja yang asyik berpacaran. Atau jika kau mau, tempat ini bisa jadi fasilitas bunuh diri yang memadai.

Walau aku datang bersama teman-temanku, aku tidak duduk di tikar bersama mereka. Sejak aku datang, aku duduk di langkan jembatan, mendengar lagu dari pemutar musik seharga tiga puluh lima ribu dan mengumpat ke setiap kendaraan yang lewat di jembatan baru. Aku suka melakukan hal ini, atau memanggil mereka seolah aku kenal mereka, padahal aku sama sekali tidak tahu siapa mereka. Kau tidak butuh apa-apa, hanya nama entah siapa. Mereka tidak akan peduli walau mereka mendengar, dalam diri mereka, mungkin hanya mengira kalau aku sedang berteriak kepada seseorang yang bukan mereka.

Setelah aku cukup puas, aku kembali bersama gerombolanku yang sibuk dengan ponsel dan juga tablet—yang mereka sebut I Pad—sembari mengobrol tanpa menatap muka. Aku ingin berteriak, “Aku kesurupan! Aku kesurupan!”  di antara mereka sembari melakukan aksi yang sama seperti orang-orang kesurupan pada umumnya agar ada keramaian di sana, tapi mereka sedang bermain poker atau entah apa namanya di ponsel masing-masing, dan tidak ada orang yang peduli kehebohan ketika kau bermain poker.

Kopiku belum tiba, aku beranjak dari tikar tanpa memakai sendal, karena aku ingin mencoba mengakrabkan telapak kakiku dengan aspal lama yang dingin. Aku kembali memesan. Saat hendak kembali ke tempat sebelumnya, aku melihat empat manusia yang sepertinya aku kenal duduk tidak jauh dari gerombolanku. Aku menghampiri mereka.

Teman lama. Teman sekolah. Menengah pertama juga atas.

Ketika aku datang dan hendak menyapa mereka, salah satu dari mereka berkata, “Ini, Mas,” pada saat yang bersamaan tangannya mengambil beberapa uang koin dari dekat gelas esnya dan mengulurkannya kepadaku tanpa menoleh kepadaku.

“Bukan. Anu…” kataku bingung menolak uang itu, karena mungkin kau bisa membeli secangkir kopi pahit dengan recehan itu.

Akhirnya dia dan tiga lainnya mendongak dan melihat wajahku, seolah kesal karena aku tidak mau menerima pemberiannya. Aku masih tersenyum canggung. Untuk sesaat aku biarkan mereka memproses sesuatu dalam pikiran mereka. Dan kemudian mereka tertawa, dan aku ikut menertawakan diriku sendiri.

“Yaowloh… Muhaku!” satu-satunya perempuan di kelompok itu berseru, seperti ketika kau gemas melihat bayi, dan tentu saja aku tidak seperti bayi, dia berteriak seperti ketika kita masih SMA dan itu karena dia menganggap aku polos. “Aku kira kau…”

Aku melihat diriku sendiri, pakaian yang payah dan bertelanjang kaki. Aku benar-benar terlihat seperti, “gembel?” kataku melanjutkan kalimatnya yang terputus. “Oke, kau parah, Ki,” aku tersenyum.

Dan tentu saja aku bergabung dengan mereka, melupakan gerombolanku.

Mereka semua pernah sekelas denganku. Luk, adalah teman sekelas di kelas sepuluh, aku masih ingat dia sering duduk di bangku depan dan mengobrol tentang volume sebuah kotak amal bersama teman sebangkunya. Gal, dia sekelas bersamaku selama tiga tahun ketika masih di SMP bersama teman yang satunya Fai, yang teman sebangkuku. Dan satu lagi Oki, satu-satunya perempuan di sana, dua tahun terakhir SMA sekelas denganku. Beberapa kali aku juga masih sering ngopi dengan Oki, dan teman sekelas lainnya, tapi sudah cukup lama terakhir kami ngopi bareng. Kau tahu, kau tidak menyebut teman sekelas di kelas dua belas SMA sebagai mantan teman sekelas, karena kau akan selalu merasa sekelas dengan mereka.

Tentu saja aku akrab kepada mereka semua semasa sekolah, aku terbuka kepada mereka. Kecuali Oki, aku lebih terbuka kepadanya saat kami sudah lulus.

Kami mengobrol tentang teman lama, tentu saja. Gal mengatakan salah satu teman kami saat SMP, sudah bisa membuat robot, atau apapun itu, terakhir entah pergi ke Jepang atau Virginia, USA untuk kompetisi. Gal tidak banyak bicara, dia lebih banyak memainkan Mobile Legend, sehingga Oki menyebutnya sebagai autis, dan tentu aku bingung, “asyik dengan dunianya sendiri,” jelas Oki. Aku ingin mengatakan kalau sepertinya kata itu tidak cocok digunakan seperti itu. Lagipula setiap orang berhak memiliki waktu untuk asyik dengan dunianya sendiri, dan aku rasa Oki tahu duniaku seperti apa, beberapa kali dia menanyakan, “bagaimana naskahmu?” Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjawab dan mengalihkannya dengan sesuatu yang bisa membuatnya tertawa.

Fai menanyakan kabar ayahku, walau aku tidak tahu, dari banyak hal kenapa dia menanyakan hal itu, apakah satu-satunya yang dia ingat bahwa ayahku adalah seorang gangster? Entahlah. Luk bertanya berapa volume kotak amal di masjid depan rumahku, jujur aku tidak tahu karena aku sudah jarang ke masjid, apa lagi untuk mengukur volume kotak amal.

Fai pulang lebih dulu, karena ada sesuatu. Oki memaksa aku memakan satai usus bakar, atau entah apalah itu namanya, dan tentu saja aku menolak, dia hanya menggoda karena dia sudah tahu kalau aku adalah seorang vegetarian, aku dan Gal berdebat dengan Oki dan Luk tentang hal itu. Dan kami mengobrol banyak lagi. Kami bersulang dengan gelas-gelas yang nyaris kosong untuk setiap kemalangan dalam hidup kami.

Sayangnya, mereka sudah berjam-jam berada di sana, sehingga harus pulang saat kopiku datang.

“Wah, aku sendiri dan tidak berada di sini,” kataku mengutip puisi Tidak Ada New York Hari Ini kepada mereka.

Ketika Oki menunggu Luk mengambil motornya, Oki mengatakan kalau dia baru saja wisuda, dan bertanya apakah aku tidak ingin mengucapkan selamat kepadanya? Tentu saja aku mengucapkannya, “Wah, Oki wisuda, selamat, ya, Oki,” sembari merentangkan sepasang lengan, berharap dia mau menyambutnya dengan pelukan, yang tentu saja tidak akan terjadi. Dia hanya tertawa. Sesaat setelah mengatakan itu aku merasa bersalah, padahal aku sama sekali tidak berniat sarkastis atau apa, mungkin aku hanya iri padanya yang sudah jadi sarjana, sedangkan aku masih bukan apa-apa. Dia bertanya tentang apa yang aku lakukan di atas jembatan tadi, dan tentu saja aku memberitahu tentang mengumpat ke setiap orang yang lewat, dia tertawa, dan mengatakan kalau Ang pasti tidak akan berhenti tertawa kalau sekarang ada di sini. Ang. Angel teman kami ngopi, aku senang jika bisa membuat mereka berdua tertawa.

Setelah mereka pulang, aku kembali merasa sendiri, aku menoleh kembali ke gerombolan temanku, semua orang adalah orang lain. Kubawakan daging-goreng-yang-dibakar yang ditinggalkan untukku ke gerombolanku. Aku berjalan menjauh dari mereka, dan melihat orang-orang memancing di pinggir jembatan, orang-orang itu diam seolah sedang menimbang perihal melompat ke bawah sana?

Aku mengaktifkan kembali pemutar musik. Suara lembut Taeyeon segera memeluk kegelisahanku.

Aku melihat lubang-lubang besar di jembatan. Aku jadi memikirkan sebuah lubang yang ada di bawah jog sebuah mobil, yang dapat menelan apapun seperti lubang cacing. Aku yakin lubang-lubang di jembatan tua ini juga memiliki kemampuan yang sama. Aku menendang batu kerikil ke salah satu lubang itu, jatuh dan kegelapan segera menelannya. Mungkinkah batu itu sampai di tempat lain? Atau hanya malam tidak mengizinkan aku melihat perjalannya yang hanya menyentuh permukaan air dan tenggelam? Mungkinkah aku harus mencoba melompat ke sana supaya tahu. Tapi tidak, aku hanya menatapnya.

Aku hanya menatap lubang sembari terus mendengarkan Taeyeon. “Make Me Love You…” kata Taeyeon, dan tentu saja aku tidak akan bisa membuatnya mencintaiku dengan melompat ke lubang itu. Jika aku melompat ke sana, mungkin aku malah sampai di tempat di mana tidak ada dia, sebuah tempat di mana tidak ada Taeyeon bukanlah tempat yang diinginkan seseorang untuk tinggal.

Memikirkan lubang itu aku jadi memikirkan betapa banyak kesalahan dalam diriku, dan baru saja tadi muncul lubang baru: Entah kenapa aku merasa mengecewakan seorang perempuan yang berharap mendapat ucapan selamat atas kelulusan.

Aku akan meminta maaf jika bertemu langsung dengannya, dan sekali lagi mengucapkan selamat atas kelulusannya. Tentu saja dengan cara yang benar. Ya, walau aku tahu sepertinya sangat terlambat.

Malam kian larut aku kembali duduk di langkan jembatan, mengambil catatan kecil yang kubawa untuk menulis prosa, atau puisi, atau kata tanpa jiwa sembari terus mendengarkan lagu yang terus berganti. Taeyeon, Blackpink, Frank Sinatra, hingga musik-musik klasik, hingga kehabisan daya. Jujur aku tidak tahu apa-apa tentang musik klasik, dan bahkan aku tidak tahu banyak tentang musik kecuali aku tahu aku suka mendengarkan musik. Aku mendengarkan musik klasik hanya karena ingin belajar menikmatinya, seperti Murakami dan para penulis besar lainnya menikmatinya.


Ketika pulang, kucingku, Styx, menunggu di depan pintu, dia meminta makan, aku tidur setelah melihat dia menjilati kedua tangannya. Aku tidur dengan begitu banyak lubang dan kekosongan seperti jembatan tua.

Komentar

  1. Ya Allah.. dikasih duit sama temen! Ya lagian gak pake sendal juga sih 😂😂

    Semoga kamu lekas bertemu dan ngucapin selamat ya.. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya begitulah hidup, kaka.
      ya terimakasih, semoga aku lekas bertemu denganmu juga.

      Hapus
  2. Gue nggak pernah sampai dikira gembel begitu sama temen, sih. Selusuh apa pun penampilan gue. Hahaha. Malang sekali lu, Man. Gue bingung sama orang yang main hape mulu dikatain autis, itu hal yang berbeda, kan?

    Kalau dengerin musik klasik, gue sempet ngikutin kesukaan para penulis luar tuh. Ya, meski gue masih jarang dengerin karena sekarang lagi suka musik-musik indie. Frank Sinatra dan Mozart biasanya yang gue denger.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya kau beruntung...
      sangat jauh berbeda sih memang.
      dulu kusuka musik metal lembut indie band-band indo kayak 13, SAR, gituan.... yup aku sedang mencoba memahami apa nikmatnya musik mozart haydn dan kawan-kawannya, ternyata enak kalau dibuat melamun, mikir, merenung, gituan. kalo frank sinatra sudah suka dari dulu.

      Hapus
  3. yaampun kamu dikira mo minta-minta duit ya? wkekeke aku malah pernah dikira TKW :( , eh foto juga dong jembatannya biar makin bisa bayangin ceritanya whehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

"Berkomentarlah." begitu kata Jackh Linborginh