Apa yang Aku Pikirkan Ketika Aku Berpikir Tentang Kehilangan

Blue Valley Series dari sini.

Aku menghela nafas dan kutinggalkan meja berantakan penuh hal yang—di anggap orang-orang—tidak berguna, lalu pergi ke dapur untuk segelas air, aku tuangkan air kendi ke gelas, aku suka air kendi, dingin yang alami membuat diriku menikmati kesegaran sesungguhnya yang mungkin kini sudah hilang karena lemari es, sederhana sekali, bagaimana sebuah teknologi menghilangkan sesuatu yang alami, aku tersenyum, mungkin inilah sebuah contoh kehilangan dan juga bagaimana mengatasinya, namun aku rasa hal ini terlalu sederhana untuk merayu seorang editor.

Aku duduk di meja makan dan meneguk air itu dengan perlahan, aku tidak bisa minum dengan cara berdiri, entah kenapa. Setelah kosong, aku letakkan gelas itu di sampingku, aku melihat kucingku, kucing berwana cokelat yang sedang terbaring miring di atas keset sembari menyusui anaknya yang juga cokelat. Beberapa hari lalu, kucing itu memiliki tiga anak, yang lainnya putih dan belang, tapi ibuku memeberikannya ke tetangga—setidaknya ia tidak membuangnya ke jalanan, jadi anaknya sekarang tinggal satu yang tengah menyusu. Aku kembali memandang gelas, aku hendak mengisinya lagi, namun ketika aku mencengkeram dengan erat, benda ini membuatku berfikir tentang kekosongan.

Betapa kosongnya diriku saat ini, betapa jiwaku hampa akan segalanya, betapa aku tidak mampu menutupi semua kenyataan ini dari diriku sendiri, aku tak bisa menampik kalau duniaku kini benar-benar kosong—lenyap. Aku berfikir apa yang membuatku seperti ini, dan apakah aku pantas seperti ini, apakah aku akan mendapatkan semua jawaban dari semua ini, semakin aku berfikir aku semakin dalam masuk ke angan-anganku, aku memikirkan sesuatu kenapa aku selalu sendiri dalam angan-anganku.

Aku sudah lama masuk ke suatu tempat yang sering dianggap menyeramkan oleh semua orang, tempat yang sunyi, hanya angin yang berhembus menerpa wajahmu dengan perlahan dan juga nafasmu yang bisa kau dengarkan, tak ada siulan-siulan burung  pengejek, tak akan kau temukan raungan ombak yang berusaha melepaskan diri dari kekangan pantai atau karang yang membatasinya, yang ada hanya kesunyian dan suara angin yang berusaha menerbangkan semuanya, kadang kala angin itu juga membuat pikiranmu terbang ke dalam lamunanmu sendiri, sehingga kau menyadari kalau kau benar-benar kesepian. Aku berada di sebuah tempat yang selalu berusaha dihindari oleh orang-orang dengan berbagai cara, namun sayangnya terkadang cara-cara itu—secara tidak sadar—juga mendekatkan mereka ke tempat itu, sebuah tempat di mana tidak ada orang yang dapat kau ajak bicara denganmu, hanya ada dirimu yang satunya jika kau tahu cara bicara dengannya, sebuah tempat yang terkadang digunakan alasan sebagai sepasang kekasih untuk bersatu demi menjauhinya. Aku berada di sebuah tempat yang dinamakan kesendirian, terkadang mereka menamakan kesepian, terkadang kerinduan, banyak sebutan untuk mereka.

Kerinduan akan banyak hal, rindu akan pelukan kekasih yang menghangatkan diriku ketika dingin—kiasan atau dingin yang sesungguhnya—menghampiri diriku, rindu akan senyuman orang-orang yang terukir secara tiba-tiba kala menyapaku, rindu akan ucapan penuh kasih sayang dari orang-orang sekitarku, ucapan sederhana yang terkadang membuatku merasa kalau sendiri tak lagi bersamaku. Aku merindukan semua hal itu, namun aku rasa tidak akan mendapatkannya untuk saat ini, aku tidak akan mendapatkan senyuman itu, aku tidak akan mendapat pelukan, aku tidak akan mendapat sapaan, aku tidak akan mendapat semua yang sedang aku pikirkan. Walaupun aku tahu akan hal itu, aku tidak terlalu khawatir, semua kesendirian ini sudah akrab denganku, aku sudah menyatakan mereka sebagai kawanku—seperti keinginan mereka, aku tak lagi khawatir akan hal yang disebut dengan kesendirian ataupun kerinduan, atau bahkan kesepian.

Aku tidak tahu bagaimana awal mulanya, aku hanya merasa ingin sendiri saja—walaupun sebenarnya aku sudah sering menyendiri, kesendirian ini berbeda, aku melepaskan diriku dari semua hal yang ada dunia ini, aku tidak tahu apakah ini tindakan yang  benar atau salah, yang aku tahu tiba-tiba saja aku telah kehilangan duniaku selama ini, dan tanpa sengaja aku masuk terlalu dalam ke tempat baru yang dinamakan kesendirian ini. Aku kehilangan duniaku yang dulu, dunia di mana aku bisa bebas ke mana pun aku pergi, aku kehilangan kehidupan sosialku, aku kehilangan temanku, aku kehilangan kekasih dengan pelukannya, aku kehilangan masa laluku, aku kehilangan masa muda yang seharusnya aku nikmati dengan segala gemerlapnya, aku kehilangan semuanya demi suatu hal yang tak tertahankan, suatu hal yang tiba-tiba saja hinggap dalam hatiku bagai seekor induk burung yang tiba-tiba menemukan tempat yang tepat untuk membuat sarang.

Namun di dunia ini aku bertemu dengan banyak hal, aku bisa bebas pergi ke manapun lebih jauh dari apapun, lebih jauh dari sebelumnya, melayang dari suatu tempat ke tempat lain bagai angin, bagai cahaya yang menerobos dalam kegelapan. Aku mengenal banyak hal baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, aku bisa melihat ke masa lalu melalui imajinasiku, aku menyaksikan sejarah, aku menyaksikan kisah cinta yang abadi meski racun telah merenggut nyawa mereka, aku menyaksikan sekumpulan anak-anak yang belajar sihir dan menyihir seluruh dunia, aku tahu banyak hal, aku melihat bagaimana dunia bisa menjadi lebih aneh hanya dengan menggunakan kata-kata, aku melihat dan mengagumi bagaimana Murakami membuat hujan ikan sarden dalam pikiranku, aku melihat bagaimana seseorang—yang katanya juga pernah menghuni kesendirian—bernama Pamuk membuat seorang mayat berkisah, juga kuda dalam lukisan orang-orang Ottoman itu; aku melihat dua bulan dengan warna yang berbeda menggantung indah dilangit malam yang penuh bintang, meskipun hanya dalam pikiranku, meskipun hanya digambarkan oleh seorang yang sering mendapat nominasi Nobel sastra, bulan itu sungguh mengagumkan.

Di dunia yang sekarang ini tidak ada kesibukan yang sesungguhnya, tidak ada pekerjaan, yang ada hanyalah kemalasan yang tak sempurna, duka itu ada, namun segera pergi ketika  aku membaca lembar demi lembar jilid-jilid yang terkadang tipis terkadang tebal, terkadang aku menulis tanpa tahu kapan semua kisah ini selesai, tanpa tahu kapan mimpi-mimpi itu tercetak dengan sampul tipis—atau mungkin tebal. Aku terus membaca saja, yang mungkin semakin menjauhkanku dari apa yang sebenarnya membuatku masuk ke dalam semua ini, atau mungkin justru hal itulah yang membuatku akan meraihnya, mungkin hal ini yang akan membuatku memenuhi gelasku, aku tidak tahu pasti. Aku tidak tahu kapan aku kembali ke duniaku yang lama, bagai induk burung yang hendak membuat sarang, masih ada harapan di masa depan, yang pasti aku akan terus berusaha hingga hal ini menjadi sebuah kenyataan, di mana aku bisa mengguratkan senyumku lagi, seperti aku mengisi gelas ini lagi.

Aku teguk air itu hingga tidak tersisa, hingga dahagaku hilang, semudah ini rasa hausku lenyap. Sudah larut, aku rasa aku harus menyeduh kopi karena ada satu cerita seru menanti, aku menuang air ke dalam panci, dan meletakkannya di atas kompor lalu menyalakannya dan api mulai menari. Sembari menunggu  air itu mendidih aku memasukkan bubuk kopi serta gula ke dalam cangkir, kemudian duduk kembali di atas meja dengan bersila, memandang ke arah kucing itu, sekarang mereka sudah tertidur dengan dengkuran menyerupai suara mesin disel, aku tersenyum menyaksikan hal ini, dan aku ingat aku belum menamai anak kucing itu, aku memanggil induknya Styx, aku memikirkan nama untuk si anak, tapi tiba-tiba air itu sudah mendidih, dan mengapa tidak, mungkin aku bisa menamai anak kucing itu Boiling, tapi untuk lebih mudah mungkin aku memanggilnya Ling saja, sempurna. Aku langsung beranjak dari meja, kumatikan kompor dan menuangkan air mendidih itu ke dalam cangkir.

Sembari mengaduk, aku memikirkan betapa bagusnya nama anak kucing itu meski aku belum tahu jender kucing itu sendiri, namun aku malah berfikir apakah kedua kucing itu sebenarnya setuju dengan nama itu? Sepertinya mau, aku mengingat bagaimana Tuan Nakata berbicara dengan kucing, mereka tidak peduli dengan nama yang diberikan Nakata, mungkin sebaiknya aku mencobanya, “Ling,” tidak ada reaksi, “Styx,” kataku lagi, dan telinga induk kucing itu bergerak, ku coba lagi, “puss,” dan kedua kucing itu menggerakkan telinga mereka masing-masing, jelas sekali mereka memang tidak terlalu peduli, yang mereka perlukan hanyalah menjilati tubuh mereka dan makan tentunya, mereka tidak peduli dengan identitas, mereka hanya perlu makan. Namun bagaimana dengan dua anak kucing yang diberikan ke tetangga itu, mereka tidak mendapat susu dengan selayaknya, mereka telah kehilangan tanpa tahu apa yang hilang dari mereka, sementara induknya nampaknya tidak terlalu memikirkan meski kehilangan anaknya.

Aku duduk lalu menuang kopi ke lepek, sembari menunggunya agak dingin aku memikirkan hal ini: kehilangan, tanpa aku sadari aku telah banyak kehilangan, hal-hal di sekitar juga banyak kehilangan, ada banyak penyebab kehilangan, harapan, keinginan, dan bahkan tanpa penyebab. Aku kehilangan semuanya karena keinginanku, namun terkadang seperti kucing itu juga, mereka tidak menginginkan apapun tapi mereka juga bisa kehilangan, tak ada duka yang mereka rasakan. Aku kehilangan setiap detik, aku kehilangan ini semua saat aku tidur nanti, kelak waktu aku terbangun aku juga akan kehilangan mimpi, ada banyak sekali kehilangan lainnya jika aku menyimak apa yang baru saja aku pikirkan tadi, seperti saat ini, tanpa aku sadari, aku—dan kau—telah kehilangan batas antara fiksi dan realita, bagaimana caraku mendapatkan batas itu kembali, mungkin dengan aku menghilangkan perasaan itu, dengan tanpa memikirkannya, dengan menganggap ini sebuah kisah nyata atau sepenuhnya fiksi.

Aku menghela nafas, mungkin seharusnya aku tidak terlalu memikirkan ini semua.

Aku meneguk kopiku, tak terlalu panas, waktu telah mengikis semuanya, hingga akhirnya nanti tak ada panas yang tersisa di cangkir kopiku ini, dan aku rasa aku harus menikmatinya sebelum dingin.

....

“Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie.”

Komentar