Tentang Kabar Pernikahan dan Penderitaan

Aku tak percaya. Aku tak percaya akan mendengarkan kabar yang memekakan telinga meskipun diucapkan dengan suara sehalus bulu domba dan tak sekeras ledakan bom Hiroshima, aku tak percaya menerima kabar yang menusuk hati, tepat ke ulu hati, rasanya seperti tertusuk ribuan anak panah yang tertancap pada satu titik secara terus menerus selama seratus detik, aku tak percaya mendengar kabar yang mengusik pikiranku hingga menguak semua kenangan yang kini menjadi semu, kabar yang sungguh mengguncang sebuah peradaban yang kusebut jiwa, kabar bahwa dia akan menikah. 

Aku tak perlu menjelaskan padamu siapakah dia, aku tak perlu menjelaskan bagaimana wujudnya, bagaimana parasnya, secantik apakah dia, atau seperti siapa dia, aku tak akan bisa, aku tak bisa lagi mengingatnya, memoriku tentang dirinya berantakan begitu saja di otakku setelah mendengar kabar baik  baginya, tapi tidak untukku  itu, aku tak bisa lagi mengatur ulang otakku, aku tak bisa merapikan ingatanku yang sebenarnya memang selalu berantakan, aku tak bisa membedakan dulu dan kini, yang jelas dia adalah orang yang kusuka, dulu, dia adalah orang yang kucintai, dia adalah orang yang kupuja, puji, dia adalah seseorang yang selalu ada di hatiku, dia adalah orang yang sulit pergi dari ingatanku, makannya sekarang ingatanku berantakan karenanya. Entah dulu entah sekarang aku mencintainya. Aku lupa. Yang pasti di hatiku selalu ada dia.

Mungkin bagi sebagian orang menikah adalah kabar baik, begitu juga baginya, aku tak tahu yang ini, maksudku, aku tak tahu apakah dia yang benar-benar menginginkannya, yang pasti ini adalah kabar buruk bagiku, bagaimana mungkin kau merelakan seseorang yang kau cintai menikah dengan orang lain?

Aku memang telah lama putus kontak dengannya, aku memang tak pernah menghubunginya, dan dia beberapa kali pernah mengirim pesan singkat ke padaku tapi aku tak membalasnya, tapi sebenarnya aku masih mencintainya, dan sepertinya akan selalu seperti ini, aku tak membalas pesan itu bukan karena aku tak punya pulsa, aku sengaja melakukannya, alasan pertama adalah mencoba melupakannya yang nyatanya tak bisa kulakukan. Karena aku tahu aku tak bisa, aku punya alasan kedua, aku sengaja menumpuk rinduku padanya dengan cara seperti itu  menahan untuk komunikasi ataupun bertemu, agar kelak ketika berjumpa dengannya aku bisa menumpahkan semua kerinduan yang mungkin telah mengendap dalam hatiku.

Tapi kini semua alasan-alasan itu hanya menjadi alasan yang tak beralasan dimana tak kan ada lagi rindu yang perlu ditumpahkan, tak ada lagi tempat untuk rasa cintaku bermuara, semua harapan telah sirna, menjauhiku, semua kenangan menusukku, yang ada kini tinggal luka dan derita. Bagaiman mungkin cinta yang dulu datang dengan berbagai macam rasa bisa pergi dengan hanya meninggalkan luka? Bagimana mungkin perasaan yang sebenarnya indah malah menyiksa?

Aku mendengar kabar itu dari seorang laki-laki yang katanya mendengar dari laki-laki lain yang sedang bergosip ria dengan para perempuan, para perempuan itu katanya mendengar dari laki-laki tetangga dia. Kenapa para laki-laki itu bergosip tentang perempuan yang hendak menikah? Aku tidak tahu.

Laki-laki itu mengatakan pada laki-laki yang lain dan secara tak sengaja saat itu aku mendengarnya, laki-laki itu berkata, "eh kau tahu kah, dia anaknya si  kita sebut saja  Pak Janskin mau menikah."

"Anaknya yang mana?" Tanya laki-laki yang satunya.

"Yang itu, yang perempuan bungsu, perempuan satu-satunya, tapi menantunya sudah tua katanya, sudah banyak ubannya, entah dari mana dapatnya."Laki-laki itu mengatakan seolah-olah menyebut sang calon menantu adalah makhluk dari dunia lain.

"Oh Pak Janskin punya anak perempuan rupanya?"

"Iya lah  "

Maaf, aku hentikan sampai sini saja, aku juga tak tega mendengarnya kala itu, aku juga kesulitan menuliskannya saat ini, aku pergi menjauh dari sana sekitar radius lima puluh meter di mana aku tak bisa lagi mendengar percakapan itu. Terlalu tuli jika aku salah mendengarnya, jelas sekali telingaku menerimanya seolah-olah seekor lebah bermain di telingaku dengan suaranya. Pak Janskin, anak bungsu, perempuan, tak salah lagi, pasti dialah yang dimaksud laki-laki itu, kata-kata itu terus menggema dikepalaku, namun tetap saja sulit sekali bagi akalku  yang saat itu sedang sehat  untuk mencernanya, seolah-olah percakapan itu merupakan kumpulan kata sandi dari percakapan antara dua ekor gajah remaja.

Kuulangi kata demi kata yang kuterima dalam otakku, aku mencoba menerjemahkannya, tetapi nyatanya bukan aku tak paham akan percakapan itu, hanya saja aku tak dapat menerima cerita itu, bagaimana mungkin tak ada hujan, tak ada angin dan tak ada kombinasi antara angin dan hujan serta guntur yang ikutan, dia tiba-tiba saja bisa menikah. Dia dijodohkan orang tuanya? Dia produksi sebelum nikah hingga terjadi hal yang tak diinginkan, kah? Atau dia memang yang menginginkannya? Atau dia kena pelet? Kenapa dia meninggalkanku? Apakah karena aku terlalu lama tak menghubunginya? Apakah karena dia tidak tahu aku masih mencintainya? Apakah terlalu lama sang kabar tak muncul di antara kami berdua? Apakah aku tak pantas untuknya? Apakah dia bukan tulang rusukku? Mungkin aku bisa menerima kabar itu, tapi tidak dengan hatiku, hatiku tak percaya akan realita ini.

Saat aku memahami seluruhnya isi percakapan antara dua laki-laki itu  dan sedikit menerimanya, aku mencoba mengecek kondisi jantungku, tak berhenti, masih berdetak normal, tak terpacu seperti ketika adrenalin bekerja, memang itu bukan hal yang harus ditakuti, aku mengecek kondisi hatiku, ruang itu seolah hampa hanya udara dan kepastian yang tak sempurna. Aku memahami sepenuhnya arti dia akan menikah. Aku sepenuhnya terluka hingga darahku tak lagi merah.

Ingin sekali aku mengumpat, tetapi kepada siapa aku melontarkan umpatan yang mungkin akan terdengar kreatif? (ketika dalam keadaan patah hati mungkin kau akan bisa mengumpat dengan lebih kreatif, cobalah) ini semua salahku, tak ada yang perlu kusalahkan untuk sebuah kesalahan yang sebenarnya kuciptakan. Sial, aku malah marah tanpa pasal, aku memerahi diriku sendiri, mengumpatkan kata yang khusus untukku.

Aku masuk ke kamar, apa yang bisa aku lakukan selain ini? Aku hanya seperti pecundang yang tak pantas hidup tanpa kandang, aku hanya bisa menangis menjadi bagian dari kisah yang tragis, aku ingin memberantakkan kamarku, aku ingin melempar buku-buku yang ada di hadapanku, membakarnya bersama kenangan menjadi api unggun yang lebih pantas disaksikan, api unggun kenangan, kedengarannya keren, bukan? Aku akan menyaksikannya hingga semua menjadi abu, kutiup agar menghambur pergi bersama udara, aku ingin membelah meja yang ada di pojok ruangan, meja yang kata teman-temanku aku curi dari sekolah, padahal tidak, hanya saja bentuknya memang sama seperti meja di sekolah dasarku dulu, tapi aku tak bisa, lebih tepatnya tak tega, aku tak tega menghancurkan tanganku untuk menghancurkan meja, aku tak tega membakar semua buku-buku yang aku beli dengan uangku, aku tak tega melakukan semuanya hanya karena patah hati. Kau pasti mengira aku terlalu tanggung serta banyak berhitung untuk patah hati. Ya, terserah, kawan.

Apa yang aku lakukan setelah semua ini, apakahkau tak memikirkan hatiku ketika cinta yang dimilikinya tak lagi bermakna? Apakah kau tak memikirkan hatiku ketika kau pergi meninggalkannya? Aku terlalu dini untuk patah hati, terlalu egois untuk menerima kabar ini, aku harus apa? Aku tak tahu, aku kehilangan arah hidupku saat kau telah pergi, aku kehilangan semua rasa bahagiaku seolah sekawanan dementor sedang berpesta di hadapanku, aku hampa, aku kosong.

Mencari penggantinya? Dan melupakannya? Sepertinya sulit, ingatanku terlalu tajam untuk melupakannya. Kalau bisa aku ingin menghindar dari kenyataan ini, menciptakan duniaku sendiri di mana aku bisa menunggang kuda putih bersamanya, tetapi aku tak bisa lari dari kenyataan ini. Mungkin, aku hanya bisa pergi meninggalkan kota ini, aku ingin pergi meninggalkan negara ini, aku ingin menetap di suatu tempat yang asing bagiku, dan aku asing baginya, aku ingin mencari sosok pengganti, walaupun aku tahu bayangannya akan selalu menghantui.

Atau mungkin aku bisa mencegah pernikahannya yang baru akan berlangsung entah kapan, mungkin dia juga belum tunangan, entahlah aku tak tahu, kabar yang ku dapat terlalu padat untuk ku urai, mungkin aku perlu menghubunginya dan menanyainya secara langsung, tapi itu artinya aku harus siap akan resiko terluka yang lebih dalam, yang bahkan mungkin kapal selam milik angkatan laut Rusia tak mampu menjajaki kedalaman luka di hatiku.

Mungkin aku bisa menghentikannya dengan cara datang kerumahnya dan berkata pada ayahnya di depan dirinya, "Aku telah membuat Putrimu mengandung anak, aku ingin bertanggung jawab, aku akan menikahinya." Dan aku berharap dia tahu aku datang demi cintaku padanya. Walaupun sebenarnya aku belum pernah tahu cara membuat sorang gadis mengandung bayi, walaupun aku dan dia serta keluarga akan malu karena tingkahku, walaupun ini semua memang tak pantas dilakukan, aku akan melakukannya... Tidak!aku tidak akan melakukannya, karena aku perlu memikirkan masa depanku, di usiaku yang baru dua puluh, maka tak pantaslah jika aku harus menikah dengan alasan yang sebenarnya hanya keegoisan (sebenarnya benar-benar cinta gak sih? Entahlah aku bingung.)Jadi lebih baik aku tak melakukannya. Pengecut? Ya, sudah kubilang, aku hanya pecundang yang hanya pantas hidup di kandang.

Malamnya sama saja, tak ada yang berubah, tubuhku seolah beku, waktu seolah berhenti tepat saat aku mendengarkan kabar ini.

Aku depresi, begitu kata Wak Joni (dia bukan dokter, psikolog, atau semacamnya, aku bahkan tak mengenalnya, aku hanya menggunakan namanya agar kalimat tadi berrima, lagipula aku suka menyebutkan nama itu), baik, tak apa, Wak Joni, terserah apa katamu. Dan asal kau tahu hujan di luar sana, yang dapat kulihat dari jendela dan kucium aroma yang khas pertemuan antara tanah adan air hujan, serta suara gemericiknya, semuanya, setiap tetesnya mengingatkanku akan kenangan, setiap tetesnya seolah membungkus sebuah kenangan, baik itu menyenangkan ataupun memuakkan. Tentang cinta yang pergi,tentang cinta yang tak lagi berarti, tentang segalanya, tentang perasaan yang seharusnya membahagiakan tetapi malah memuakkan. Dan dengan itu semua aku bisa menyimpulkan kalau aku bertambah depresi ketika melihat hujan ini. Aku menjelaskannya untuk mewakilkan Wak Joni yang mungkin akan mengatakannya.

Tak sepantasnya hujan datang malam ini, tak sepantasnya langit malam kehilangan bintang-bintangnya, kenapa langit menangis? Padahal akulah yang sepantasnya menangis, mungkinkah langit tahu betapa sedihnya diriku, kalau ia benar-benar tahu, mungkin ia juga bisa mendengar apa yang kukatakan, kalau bisa, aku akan menyuruhnya untuk menghentikan hujan, dan menghentikan semua perumpamaan.

Aku tak perlu lagi melihat hujan yang tak kunjung berhenti, aku tak akan membiarkan semua kenangan kelam merasuki pikiran, aku tak perlu gila hanya karena cinta, aku hanya perlu secangkir kopi untuk mengalahkan pahitnya patah hati, dan juga buku yang terbuka untuk kubaca agar membuat otakku terus bekerja supaya tak ada celah bagi cinta untuk masuk ke dalamnya. Aku tak ingin merasakan derita akibat patah hati, aku lebih memilih menikmati patah hati dengan caraku sendiri. Walaupun tetap saja sakit.

Kuserahkan padamu, terserah kau anggap fiksi atau nyata.

Mahu tahu apa yang terjadi selanjutnya? Silahkan baca di sini.

Komentar

  1. Wah kasian y cewek mw nikah tapi orang laen yg g bahagia
    Cara ngaku udah ngehamilin boleh dicoba tuh
    Coba j

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya mungkin kamu juga bisa mencobanya ke pada cewek yang kamu suka, niscaya kau akan mendaptkannya

      Hapus
  2. Hmm.. Aku jg gak tau ini fiksi atau memang curhatan pribadi. Tp kyaknya sih emg curhatan pribadi ya? Lebih mendalam aja gtu. Puitis banget jg. Ini nih, patah hati yg kreatif. Hehee.
    Ngaku2 kalo kamu yg udh bkin dia mengandung anak sprtnya lebih bahaya lg. Dan blm tntu jg alasannya dia menikah krna itu. Bisa aja krna udh dijodohin sm ortunya?

    Hmm. Di tulisan ini gak ada kata "dan mereka bahagia selamanya" ya? Eh gmn tuh kalimatnya gue lupa._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya kamu benar ini curhatan pribadi sebenarnya hahaha makasih
      iya bisa aja gitu ya hahaha
      aku lupua menuliskannya

      Hapus
  3. Itu yang pas paragraf mencari penggantinya? dan melupakannya? dan seterusnya dan seterusnya... Itu bikin sedih saya Muhai wkwkwkwkwkwkwkw hehehehehe :D

    BalasHapus
  4. hm,... semoga dikasih jalan yang terbaik yah

    BalasHapus
  5. Waduh, separah ini toh rasanya ditinggal menikah. :(

    Umpatan kreatif. Ahaha, ada-ada ajalah. Iya, keren kok diksi "api unggun kenangan". :D

    BalasHapus
  6. Kadang, dibalik orang yang menikah, ada satu orang yang patah hati :')

    BalasHapus
  7. biar gue anggap ini nonfiksi, biar esensi ngenesnya lebih terasa.
    asik, secangkir kopi untuk pribadi yang sedang patah hati. kopi memang gokil.

    BalasHapus
  8. Puitis banget. keren keren
    kayaknya ini beneran patah hati deh, iya gk sih

    BalasHapus
  9. udah men, lupain. galaunya jangan kelamaan.

    BalasHapus
  10. Jadi kawin nya ama orang tua dan kamu di tinggal kawin ihik ihik

    Maka nya jangan jual mahal, kalo di sms di bales hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

"Berkomentarlah." begitu kata Jackh Linborginh