Tak Terasa Semuanya Begitu Cepat Berlalu
Tak terasa semuanya begitu cepat
berlalu, kini lebaran sudah dapat kuhitung dengan jari, sebentar lagi. Ya,
sebentar lagi.
Semuanya berubah seiring waktu,
sebelum puasa contohnya, aku mendapat sebuah kabar yang bagiku sangat
mengejutkan (baca), namun semakin ke sini aku semakin tahu
tentang kebenaran kabar itu, semakin aku dapat menerimanya, aku tidak harus
menyiksa diriku dengan perasaan semacam itu, yang kulakukan hanyalah menerimanya,
begitu kata para pujangga. Lagipula sepertinya aku shock menerima kabar itu bukan karena aku terlalu cinta kepadanya
dan tak ingin melepasnya atau apa, mungkin hanya karena aku iri kepadanya yang
bisa menikah lebih dulu dariku. Ah ini
sebuah kebohongan, jelas-jelas kau sangat mencintainya, ah ya sudahlah.
Bagaimana kalau kita melupakan topik tentang
penderitaan ini, aku juga tidak tahu kenapa terus ingin menuliskannya, jadi
sebaiknya aku lanjutkan ke topik lainnya.
Sebelum puasa adik sepupuku, Si Dona,
pulang ke rumah, dan seperti biasa dia langsung mengusai seluruhnya dariku,
kamarku, ponselku, buku-bukuku dan yang
lainnya, dan anehnya kini semakin besar ia semakin manja, semakin menyebalkan,
membuatku ingin membuangnya ke jauh
lautan sana, namun aku tidak akan benar-benar melakukannya, itu hanya perumpamaan,
bung. Perumpamaan untuk menyatakan kekesalanku kepadanya. ah tidak juga, sepertinya kau juga senang akan kepulangannya.
Selalu sama, tidak ada yang berubah dari Dona, ia tetap saja
seperti anak-anak yang tak bisa dewasa, di rumah ia pun mainnya sama anak kecil
tetangga. Ah, Kenapa
aku seperti ini? kenapa aku menganggapnya tidak bisa dewasa? padahal aku
sendiri juga tidak bisa dewasa, atau mungkin karena aku memang memilih untuk
tidak menjadi dewasa, “orang dewasa itu menyebalkan.” begitu kata seorang anak
kecil yang pernah aku temui tempo hari. Aku ingin terus berjiwa muda sampai
ribuan tahun kelak. Ah bisa aja kau ini.
Mana mungkin umurmu sampai ribuan tahun, seperti siluman saja kau.
Dan yang paling menyebalkan adalah
Dona tak bisa lepas dari ponsel.
Ponselku. Ketika di rumah, ia selalu meminjam ponselku. Bayangkan saja, waktu
itu jam makan sahur, ia membangunkanku sahur dan saat itu pula ia mengambil
ponselku, dan makan. Setelah selesai mengisi cadangan perutku aku meminta
kembali ponselku, dan tak diberikan, dan inilah awal saat ponselku sepenuhnya
menjadi miliknya, ya aku biarkan saja, aku tidur lagi, dan bangun pukul 9, ya memang beginilah kehidupan seorang
pengangguran, jangan ditiru ya anak-anak. Aku kembali bertanya kepadanya
tentang keberadaan ponselku, Dona bilang masih ia pakai dan katanya saat itu
sangat penting-penting sekali—walaupun aku tahu sebenarnya yang ia maksud
penting adalah tidak penting, dan akhirnya aku biarkan saja, aku biarkan saja
ia membawanya lagi. Sampai buka puasa baru dikembalikan ponsel itu kepadaku, seharian
dibawanya, aku sampai lupa kalau aku punya ponsel, seharian aku sakau aku kira
kenapa ternyata karena tak bisa melihat lini masa. Aku hanya memakainya
beberapa menit saja setelah berbuka, dan Dona memintanya kembali, memakainya
lagi, tentu saja aku tidak memberikannya, aku tinggal shalat dan ternyata
ponselku sudah raib lagi, Dona yang membawanya.
Menyebalkan memang, namun dari dia aku
seolah melihat diriku yang dulu—dan
sebagian kini—yang tak bisa lepas dari ponsel, sama seperti manusia lainnya di masa
kini, dan ketika Dona membawa ponselku, aku juga merasakan kembali hidup yang tak tergantung pada ponsel
dan koneksi internet. Seperti yang aku katakan sebelumnya, awalnya aku merasa
sakau, ingin segera mengambil ponsel itu secara paksa dari Dona dan memeriksa
pemberitahuan-pemberitahuan yang masuk ke ponselku, namun lama kelamaan selama
beberapa hari ketika Dona di rumah, aku seolah tidak peduli lagi akan beranda
Facebook, aku tidak peduli akan lini masa Twitter ataupun BBM, notifikasi
Whatsapp ataupun apalah yang sejenisnya, seolah-olah aku sudah melupakan
semuanya, seolah-olah aku kembali ke masa di mana ponsel dan internet belum
berkuasa, mungkin seperti inilah kehidupan yang sebenarnya. Aku menikmatinya.
Dan seperti umumnya sebuah pertemuan,
pasti ada juga sebuah perpisahan, kembalinya lagi Dona ke pesantren membuatku
merasakan kehilangan, aku belum sempat mengucapkan terimakasih kepadanya karena
terus-terusan membawa ponselku selama ia berada di rumah, aku masih rindu akan
kehadirannya di sisiku sebagai adikku yang gila. Namun ia harus kembali lagi ke
pesantren.
Sebelum pergi, di bawah atap rumah
yang penuh sarang laba-laba di dalam kamarku, dengan aku yang menghadap ke
layar kaca, dan ia yang sibuk terlentang membuka-buka buku tanpa membacanya, ia
berkata. “Aku mau balik biar Mas Muha kangen padaku.”
“Ya, balik, balik aja lah.” Kataku
santai. “Enggak usah pulang sekalian biar aku kangen terus-terusan. Biar mati
sekalian karena kangen.” Dan kami pun tertawa.
Dan aku tertawa sekaligus menangis.
Mungkin kau mengira aku merasa
kehilangan dia. Sayang harus aku katakan kepadamu kalau pendapatmu salah. Bukan,
sama sekali bukan, aku tidak merasa kehilangannya, aku hanya kehilangan lima
puluh ribu rupiah, ia mengambilnya begitu saja dari dompetku yang kuletakkan di
meja, mungkin 50 bukan angka yang besar bagimu, namun dengan itu aku harus
bertahan agar tidak tenggelam tergerus kerasnya zaman. Saat itu aku merasa
sangat kehilangan selama… sekitar satu menit dua puluh tujuh detik, kemudian
aku mengikhlaskannya, seandainya urusan cinta semudah ini, mungkin aku sudah
bisa melupakan dia gadis yang selalu menghantuiku.
Bisa apa aku dipalak preman cewek
manja seperti Dona, ya aku ikhlaskan saja, lagipula kasihan dia. Dia sempat
curhat kepadaku tentang kehidupan di pesantren yang mengekangnya, membuatnya
tak bisa bebas ke mana-mana. Aku mengatakan kalau hal itu lebih baik, dan itu
memang baik untuknya, daripada ia di rumah dan keluyuran ke mana-mana terlibat
pergaulan tak jelas. Ya, ngaji di pesantren itu adalah yang paling baik. Daripada
sepertiku, sungguh sebenarnya aku ingin ngaji di pesantren, keluar dari rumah
ini, namun semuanya sudah terlambat, tak pantas lagi aku masuk ke pesantren.
Namun aku tetap ingin keluar dari rumah ini mencari pengalaman di luar sana,
Jadi aku ingin pergi jauh sejauh-jauhnya menjelajah dunia, dan kembali dengan
banyak pengalaman di dalam ingatan, tak peduli akan materi yang biasa dicari,
tak peduli, aku ingin menikmati dunia ini dengan caraku sendiri.
Namun apa yang terjadi? Aku masih sama seperti yang dulu, tak ada
yang berubah, aku merasa sama seperti Dona, mungkin lebih baik Dona, ia sudah
berkembang dengan dirinya walaupun aku tak bisa melihatnya, namun aku yakin
kehidupan di Pesantren telah merubah hidupnya, membuatnya lebih berkembang. Semua ini terlalu
rumit, Dona ingin di rumah sepertiku, namun aku ingin ke dunia luar sana.
Kesimpulannya kita-kita ini semua satu sama lain menginginkan suatu hal yang dimiliki
oleh orang lain, apapun itu, ini semua membingungkan.
Aku tidak pernah menyangka semua
begitu cepat berlalu dan aku masih di tempat ini, masih sama seperti dulu,
terkekang oleh ilusi waktu, tak ada yang berhasil kucapai.
Tentang naskah yang terus kuketik,
setidaknya aku telah berhasil menyelesaikan draft
pertama dari naskah yang outline-nya
sudah kubuat entah beberapa bulan yang lalu. Aku menyelesaikannya di hari ke
tujuh Ramadhan, padahal sebelumnya aku malas sekali untuk melanjutkan naskah
itu, ceritanya terlalu rumit, selama lima bulan aku hanya sampai bab 12 dari 50
bab yang kurencanakan, namun saat Ramadhan tiba-tiba saja aku menyelesaikan
semua kekurangan bab itu hanya dalam waktu satu minggu, entah kenapa, aku
bingung, inikah yang dimaksud spirit of
Ramadhan? Ah istilah apa lagi ini?
Walaupun begitu, itu semua masih draft satu, dan masih banyak
kekurangannya, yang entah kapan aku bisa menyelesaikannya, dan mengirimkannya
ke penerbit, dan entah kapan pula aku berhasil menerbitkan bukuku, itu semua
hanya masalah waktu, yang pasti aku percaya kalau usaha-usahaku tak akan
menghianatiku.
Sekarang aku tak melakukan apa-apa, ya
hanya baca-baca buku saja, rencananya ingin brainstorming,
buat outline untuk naskah berikutnya,
melupakan sementara naskah yang ini. Namun aku masih terlalu malas, dan setiap
kali mencoba menulis pun aku masih teringat karakter dalam naskah sebelumnya,
nampaknya aku harus melupakannya dulu. Ya, memang sepertinya melupakan hal yang
penuh kenangan adalah suatu hal yang sulit, seperti halnya melupakan mantan. Nah kau lihat, kau selalu kembali ke masalah
mantan, apa kubilang, seharusnya kau melupakannya seperti mengikhlaskan uang
lima puluh ribu.
Oke, baiklah aku akan melupakannya.
Dan kabar lainnya, dua bulan sudah aku
tak belanja buku atau apa, dan aku mencoba membaca buku lama seperti My Name Is Red karya Pak Orhan Pamuk,
buku itu membuatku ingin mempelajari sekali lagi tentang islam dan sejarahnya,
apalagi Pak Orhan Pamuk sepertinya menulis buku itu karena terinspirasi dari
ayat yang ada di dalam Al-Qur’an, anehnya aku membacanya di bulan Ramadhan, aku
merasa ingin membaca Al-Qur’an, oh betapa lupanya aku akan Tuhan, banyak buku
yang kubeli dan kubaca, dan ternyata aku sudah lama tak membaca Al-Qur’an,
mungkin tiga tahun atau empat, lima tahun, oh sepertinya aku sudah benar-benar
lupa, aku ingin membaca Al-Qur’an lagi, mungkin saatnya inilah aku kembali ke
jalannya.
Tak terasa semua begitu cepat berlalu,
dan aku curhat kemana-mana kepadamu, maafkan aku yang menyita waktumu, sudah
saatnya aku mengakhiri ini semua, …dan kita hidup bahagia selamanya.
Tamat.
Hmmm... kok kayak kisah nyata yaa
BalasHapus^,^
lah kan memang curhatanku kaka :)
Hapuseaaa eaaa...
Hapusiyaaa, aku baru baca full ini, hehe
^,^
Dona belum ada kesibukkan aja kalik, makanya nggak bisa lepas dari ponsel :') aku sekarang malah bisa banget nglepasin ponsel, selain nggak ada apa-apa di ponsel, ya sibuk juga sih :'
BalasHapusiyah begitulah mungkin, aku juga sudah terbiasa sekarang gak megang ponsel, ini semua karena dona, makasih dona
HapusYah gak seru. Kirain bakal ada cerita sedih lagi..
BalasHapusCeritain dong gimana prosesi nikahnya dia. Ada dangdutan gak kira-kira..
maaf sekali ya, ceritnaya sedihnya lain kali deh ada danggdutannya tapi tak terlalu seru, rusuh dangdutannya satu tewas karena menginjak beling garagara ada gelas pecah di arena buat joget, dan satu luka parah gara-gare ketendang saat ada yang ikutan joget tapi malah moshing
HapusKamu sama si adek, Dona, so sweet juga ya. Kamu itu sayang sama dia, makanya rela-rela aja hape kamu dipinjam sama dia seharian. Kalau aku jadi kamu, itu aku pasti bakal berantem rebutan hape sama Dona. Jambak-jambakan kayak Jupe vs Depe.
BalasHapusBener, waktu begitu cepat berlalu. Dan semoga kamu cepat nikah ya, nyusul cewek yang kamu suka itu. Yuhuuu~
iya mungkin begitulah mbak cha. janganlah jmabak-jambakkan itu gak baik, ada hadisnya dalam alquran, surat, al.... entahlah gue lupa, pokoknya intinya gak baik.
Hapuskaau dp dan jp itu lebih baik bikin video dewasa bareng, pasti bagus , ah apaan ini....
ah dia gak jadi nikah mbak cha, dia gak tahu lah
tetap semangat
BalasHapusiya. saya semangat kok noco
HapusSetiap hari ketemu Dona, trs dibikin risihh sama tingkah lakunya, hpmu jg jd hak milik dia, dsb., mungkin bikin kamu bête trs2an kalo ada si Dona. Tp pas Donanya balik lg ke pesantren pasti bakal ngerasa sepi lg deh krna gak ada yg ngerecokin. Hehe
BalasHapusKamu pgn ke dunia luar kayak Dona, Dona malah pgn kyk kamu di rmh aja. Trkadang apa yg dimiliki org lain trlihat bgtu indah di mata kita. Tp giliran udh kita miliki mah biasa aja. Kyak kata pepatah 'Rumput tetangga lebih hijau'
Hmm, aku komen apa lagi ya? Bingung. Yauda semoga mrka hidup bhgia slamanya deh, Hehe.
haha iya begitulah hidup kak lu...
Hapusmungkin semua manusia memang begitu, tapi kita tidak tahu apa yang terbaik bagi kita, kecuali Dia yang ada di atas sana.
aku juga agak sedikit bingung kak